Keputusasaan Manusia antara Filsafat dan Agama: Analisis Interdisipliner tentang Makna, Harapan, dan Ketahanan Eksistensial

Ilustrasi keputusasaan (Pic: Grok)
Pendekatan integratif—yang mengakui realitas absurditas hidup sekaligus membuka ruang bagi harapan transenden—lebih sesuai dengan kompleksitas pengalaman manusia modern
Keputusasaan merupakan pengalaman eksistensial universal yang dialami manusia lintas budaya, zaman, dan sistem kepercayaan.
Artikel ini membahas keputusasaan melalui pendekatan interdisipliner antara filsafat eksistensial dan teologi agama (khususnya Islam), dengan menelaah perbedaan konseptual, metode penyikapan, serta kemungkinan integrasi keduanya.
Dengan memanfaatkan analisis konseptual dan telaah literatur klasik–kontemporer, tulisan ini menunjukkan bahwa keputusasaan dalam filsafat tidak dipahami sebagai dosa, melainkan sebagai kondisi kesadaran manusia terhadap absurditas dan ketiadaan makna objektif.
Sebaliknya, dalam agama, keputusasaan diposisikan sebagai krisis spiritual yang berkaitan dengan hilangnya harapan terhadap Tuhan.
Artikel ini berargumen bahwa meskipun berbeda secara ontologis dan epistemologis, kedua pendekatan tersebut tidak bersifat saling meniadakan, melainkan dapat saling melengkapi dalam praktik ketahanan batin manusia modern.
Pendahuluan
Keputusasaan sering dipahami secara dangkal sebagai kondisi psikologis negatif yang harus segera dihilangkan.
Namun, baik tradisi filsafat maupun agama memandang keputusasaan sebagai fenomena yang jauh lebih kompleks.
Dalam filsafat eksistensial, keputusasaan justru menjadi pintu masuk menuju kesadaran diri dan kebebasan.
Sementara itu, dalam agama, terutama Islam, keputusasaan diperlakukan sebagai ujian iman yang harus dilampaui melalui harapan kepada Tuhan.
Tulisan ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan konsep keputusasaan dalam filsafat dan agama.
2. Membandingkan cara masing-masing tradisi menghadapi keputusasaan.
3. Menawarkan kerangka integratif yang relevan bagi manusia kontemporer.
Keputusasaan dalam Perspektif Filsafat
1.Keputusasaan sebagai Kondisi Eksistensial
Søren Kierkegaard (1849) mendefinisikan keputusasaan sebagai “penyakit menuju kematian”, bukan dalam arti biologis, melainkan kegagalan manusia untuk menjadi dirinya sendiri.
Keputusasaan muncul ketika manusia tidak mampu mendamaikan dirinya dengan kondisi keberadaannya.
Jean-Paul Sartre (1943) memandang keputusasaan sebagai konsekuensi logis dari kesadaran bahwa tidak ada makna atau nilai yang dijamin oleh dunia atau Tuhan.
Dalam kerangka ini, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri.
Albert Camus (1955) mengembangkan gagasan absurditas: benturan antara hasrat manusia akan makna dan dunia yang acuh tak acuh.
Keputusasaan bukanlah akhir, melainkan titik awal bagi “pemberontakan” eksistensial—keputusan untuk tetap hidup dan bertindak meskipun tanpa jaminan makna.
2.Strategi Filsafat Menghadapi Keputusasaan
Filsafat tidak menawarkan penghiburan metafisik, melainkan:
• penerimaan realitas sebagaimana adanya,
• kejujuran radikal terhadap penderitaan,
• penciptaan makna melalui tindakan sadar.
Keputusasaan, dalam konteks ini, tidak dihilangkan, tetapi ditransformasikan menjadi kesadaran dan kebebasan.
Keputusasaan dalam Perspektif Agama
1.Keputusasaan sebagai Krisis Spiritual
Dalam Islam, keputusasaan (al-ya’s) dipahami sebagai kondisi ketika manusia kehilangan harapan terhadap rahmat Tuhan.
Al-Qur’an secara eksplisit melarang sikap ini (QS Az-Zumar: 53), bukan karena kesedihan itu sendiri, melainkan karena keputusasaan dianggap menutup kemungkinan intervensi ilahi.
Berbeda dari filsafat, agama memandang makna sebagai sesuatu yang diberikan, bukan sepenuhnya diciptakan manusia.
Oleh karena itu, keputusasaan dipandang sebagai gangguan relasi antara manusia dan Tuhan.
2.Strategi Agama Menghadapi Keputusasaan
Agama menawarkan:
• penyerahan diri (tawakkal),
• doa sebagai ekspresi keterbatasan,
• keyakinan bahwa penderitaan memiliki dimensi makna transenden.
Agama tidak menuntut manusia selalu kuat, melainkan mengizinkan kerapuhan dalam relasi dengan Tuhan.
Analisis Perbandingan
Aspek | Filsafat | Agama |
Sumber makna | Manusia | Tuhan |
Status keputusasaan | Kondisi eksistensial | Krisis iman |
Cara mengatasi | Kesadaran & pilihan | Harapan & penyerahan |
Risiko | Nihilisme | Fatalisme |
Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa filsafat dan agama berangkat dari asumsi ontologis yang berbeda, tetapi sama-sama berusaha menjawab penderitaan manusia.
Integrasi Filsafat dan Agama
Pengalaman manusia nyata sering kali tidak murni filosofis atau religius. Banyak individu:
• mengalami kehampaan eksistensial (filsafat),
• sekaligus membutuhkan sandaran harapan (agama).
Dalam konteks ini:
• filsafat berfungsi sebagai alat kejujuran intelektual,
• agama berfungsi sebagai penopang keberlangsungan hidup batin.
Keputusasaan dapat dipahami sebagai ruang dialog antara rasionalitas dan iman, bukan sebagai medan pertentangan.
Keputusasaan tidak memiliki satu definisi atau satu jalan keluar universal. Dalam filsafat, ia adalah kesadaran yang harus dihadapi; dalam agama, ia adalah kondisi yang harus dilampaui melalui harapan.
Artikel ini menyimpulkan bahwa pendekatan integratif—yang mengakui realitas absurditas hidup sekaligus membuka ruang bagi harapan transenden—lebih sesuai dengan kompleksitas pengalaman manusia modern.
Referensi
Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus. New York, NY: Vintage Books.
Kierkegaard, S. (1849/1980). The sickness unto death. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Sartre, J.-P. (1943). Being and nothingness. New York, NY: Washington Square Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.
Al-Qur’an. QS Az-Zumar (39): 53.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Boston, MA: Beacon Press.
Komentar
Posting Komentar