Belajar dari Bencana Sumatra: Pencegahan Banjir dan Longsor di Kalimantan melalui Koreksi Tata Kelola Hutan, Sawit, dan Tambang
![]() |
| Ilustrasi koreksi tata kelola hutan (Pic: Grok) |
Kalimantan berada di persimpangan penting antara mengulang tragedi yang sama, atau memilih jalan pemulihan ekologis yang lebih beradab
Banjir bandang dan longsor di Sumatra menunjukkan keterkaitan langsung antara kerusakan tata guna lahan, deforestasi masif, ekspansi sawit, pertambangan terbuka, serta rendahnya kesadaran pengelolaan sampah dengan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi.
Kalimantan memiliki karakteristik ekologis dan ekonomi yang sangat mirip dengan Sumatra, terutama dalam pola eksploitasi sumber daya alam.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan pola sebab-akibat bencana di Sumatra sebagai kerangka peringatan ilmiah bagi Kalimantan agar tidak mengulangi kegagalan ekologis yang sama.
Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir, Sumatra mengalami peningkatan signifikan frekuensi banjir bandang dan longsor.
Fenomena ini tidak lagi bersifat alamiah murni, melainkan dipicu degradasi lingkungan akibat:
• Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit
• Pertambangan terbuka skala besar
• Kerusakan daerah aliran sungai (DAS)
• Buruknya pengelolaan sampah domestik
Kalimantan menunjukkan pola pembangunan yang sangat serupa, sehingga secara ilmiah berada dalam lintasan risiko yang sama.
Kesamaan Ekologis Sumatra dan Kalimantan
1.Deforestasi
Sumatra dan Kalimantan adalah dua wilayah dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi di Indonesia.
Hutan hujan tropis yang berfungsi sebagai pengatur air telah digantikan oleh monokultur sawit dan area tambang terbuka.
2.Perkebunan Sawit
Perkebunan sawit mengubah struktur tanah menjadi keras dan miskin daya serap air.
Saat hujan intensitas tinggi, limpasan meningkat drastis, memicu banjir bandang.
3.Pertambangan
Lubang bekas tambang di Kalimantan berfungsi sebagai perangkap air tanpa sistem drainase alami yang aman, sehingga mempercepat limpasan dan meningkatkan risiko jebolnya tanah.
Faktor Budaya: Sampah dan Penyumbatan Aliran Air
Saat bencana banjir bandang di Sumatra, ditemukan akumulasi sampah dalam jumlah besar di sungai dan jembatan:
• Plastik rumah tangga
• Perabot bekas
• Limbah konstruksi
Sampah ini menyumbat aliran air, meningkatkan tekanan hidrolik, dan mempercepat terjadinya jebol tanggul alami.
Pola budaya buang sampah sembarangan juga masih kuat dijumpai di banyak wilayah Kalimantan.
Perubahan Iklim sebagai Pengganda Risiko
Perubahan iklim meningkatkan:
• Intensitas hujan
• Durasi hujan ekstrem
• Ketidakpastian musim
Namun perubahan iklim bukan penyebab tunggal. Ia menjadi pengganda dampak dari kerusakan ekologis yang telah ada.
Sistem Peringatan Dini dan Kegagalan Respon Daerah
Sebagian besar bencana Sumatra tidak terjadi tanpa peringatan meteorologis. Namun kegagalan terletak pada:
• Tidak adanya tata ruang berbasis risiko
• Lemahnya pengawasan izin tambang dan sawit
• Tidak adanya relokasi kawasan rawan
• Minimnya edukasi publik
Kondisi ini juga masih menjadi persoalan struktural di Kalimantan.
Proyeksi Risiko Kalimantan
Jika pola pembangunan tidak dikoreksi, Kalimantan berpotensi mengalami:
• Banjir bandang perkotaan
• Longsor di wilayah IKN dan sekitarnya
• Krisis air bersih
• Kehancuran habitat endemik
• Konflik sosial berbasis lahan dan air
Rekomendasi Ilmiah
1. Moratorium permanen pembukaan hutan primer dan gambut
2. Penertiban lubang tambang terbengkalai
3. Rehabilitasi DAS berbasis vegetasi asli
4. Integrasi tata ruang dengan peta risiko bencana
5. Sanksi pidana ekologis bagi korporasi perusak
6. Edukasi budaya sampah dari tingkat desa
Bencana di Sumatra adalah peringatan dini ekologis bagi Kalimantan.
Jika pola deforestasi, pertambangan, ekspansi sawit, dan budaya abai terhadap sampah tidak dihentikan, maka Kalimantan berada di persimpangan penting antara mengulang tragedi yang sama, atau memilih jalan pemulihan ekologis yang lebih beradab.
Referensi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Data kejadian bencana hidrometeorologi Indonesia. Jakarta: BNPB.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2023). Analisis curah hujan ekstrem dan perubahan iklim di Indonesia. Jakarta: BMKG.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Deforestasi Indonesia 2019–2022. Jakarta: KLHK.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. (2021). Sawit, tambang, dan kerusakan daerah aliran sungai di Indonesia. Jakarta: WALHI.
World Bank. (2020). Indonesia disaster risk and land-use management. Washington DC: World Bank.
Artikel “Kalteng Banjir Lagi, Walhi Soroti Maraknya Alih Fungsi Hutan untuk Sawit dan Tambang”
Berita “Walhi minta pemerintah hentikan aktivitas perusak lahan di Kalbar” (2025)
Laporan tentang degradasi lahan gambut & rawa serta peningkatan risiko banjir akibat rusaknya tutupan gambut (2025).
Data deforestasi nasional 2024–2025 yang menunjukkan Kalimantan termasuk provinsi dengan kehilangan tutupan hutan paling besar

Komentar
Posting Komentar