Definisi Ketampanan: Perspektif AI · Neurosains · Evolusi · Estetika Kognitif · Bias Budaya
![]() |
| Ilustrasi ketampanan (Pic: Grok) |
Studi terbaru menunjukkan efek negatif pada kesehatan mental remaja Black akibat filter yang mendorong fitur Eurocentrist
Ketampanan adalah fenomena multi-level: ia muncul dari mekanisme biologis dan kognitif (otak + evolusi), direkonstruksi oleh proses budaya, dan kini dimediasi dan diproduksi ulang oleh algoritma AI — sehingga definisi ketampanan bersifat dinamis, kontekstual, dan politis.
Pendekatan Neurosains: apa yang terjadi di otak ketika kita menilai “tampan”?
• Intuisi utama:
Penilaian estetis memobilisasi jaringan reward (orbitofrontal cortex), sistem afektif, dan area yang menangani integrasi sensorik — sehingga pengalaman keindahan adalah gabungan persepsi dan nilai (feeling-of-value).
Pengalaman ini dapat muncul untuk wajah, suara, musik, atau pemandangan.
• Implikasi:
“Tampan” bukan sekadar fitur visual; ia terkait dengan makna, kelekatan emosional, dan konteks—otak menaruh ‘nilai’ pada objek yang dipersepsikan indah.
Perspektif Evolusi: mengapa kita punya preferensi tertentu?
• Inti evolusioner:
Beberapa preferensi (mis. simetri wajah, averageness, rasio dada-pinggul) sering diinterpretasikan sebagai sinyal kesehatan, fertilitas, atau kualitas genetik yang adaptif dalam konteks pemilihan pasangan.
Namun bukti dan interpretasinya kompleks dan sering diperdebatkan.
• Batasannya:
Preferensi yang “universal” lemah—banyak variasi antar budaya dan individu; konteks sosial dan pengalaman juga mengubah preferensi biologis.
Estetika kognitif (Aesthetic Cognition): ketampanan sebagai bentuk pengetahuan
• Konsep:
Estetika bukan sekadar “sensasi” — ia adalah modus kognitif: cara kita membentuk makna melalui pola, metafora, narasi, dan resonansi sensori.
Aesthetic cognition memandang pengalaman estetis sebagai pola pemrosesan yang menggabungkan perhatian, prediksi, dan afektif.
• Akibatnya:
Apa yang dianggap tampan bisa terkait dengan kemampuan kognitif untuk memproses kompleksitas (kesederhanaan vs kompleksitas yang “pas”), keteraturan, dan keterkaitan emosional.
AI dan penilaian ketampanan: apa yang berubah?
• Kemampuan AI:
Model-model terkini (vision models, generative models) dapat menilai fitur visual (tekstur kulit, simetri, rasio) dan mengusulkan “perbaikan estetis” — dipakai di kosmetik, dermatologi estetis, maupun filter media sosial.
Namun kemampuan ini berbasis data pelatihan dan objektifasi statistik, bukan penilaian normatif manusia.
• Risiko & dinamika baru:
AI memperkuat dan menskalakan norma estetis (filter, rekomendasi), menciptakan feedback loop di mana preferensi yang sering klik → lebih sering ditampilkan → menjadi norma yang tampak “alami”.
Ini dapat mengubah preferensi publik dalam waktu singkat.
Bias budaya & politik estetika
• Kenyataan empiris:
Standar ketampanan sangat dipengaruhi budaya, sejarah kolonial, media, dan politik identitas: apa yang ‘dianggap tampan’ di satu masyarakat bisa berbeda drastis di tempat lain.
Media sosial plus AI mempercepat penyebaran standar tertentu—seringnya Eurocentrism atau ideal yang menyempit.
• Dampak nyata:
Filter dan algoritma dapat memperburuk masalah kesehatan mental (body image), terutama pada kaum muda dan kelompok yang termarjinalkan; studi–studi baru menunjukkan efek negatif pada kesehatan mental remaja Black akibat filter yang mendorong fitur Eurocentrist.
Sintesis — Menggabungkan lima perspektif
1. Biologi & Otak menjelaskan kapasitas untuk respons estetis (reward, prediksi).
2. Evolusi memberi hipotesis adaptif untuk beberapa preferensi, tapi tidak deterministic.
3. Estetika kognitif menjelaskan mengapa konteks, narasi, dan struktur kognitif membuat objek tampak indah.
4. AI sekarang menjadi agen produksi norma: ia merekam dan mereproduksi preferensi melalui data dan desain platform.
5. Budaya & Politik akhirnya menentukan mana norma yang mendapat kekuatan (akses, modal, representasi) — dan siapa yang dirugikan.
Kesimpulan singkat: “Tampan” = hasil interaksi antara: kapasitas otak + warisan evolusi + pola kognitif pribadi + konteks budaya + mekanisme teknis (AI & media). Tidak ada definisi tunggal yang memadai.
Implikasi praktis & etika
• Peneliti & developer AI harus audit dataset dan model untuk bias warna kulit, etnisitas, dan fitur yang marginalize kelompok tertentu.
• Pengambil kebijakan perlu regulasi transparansi filter & rekomendasi untuk mencegah efek merugikan pada kesehatan mental.
• Praktisi estetika & publik harus sadar bahwa “standar” yang dihadirkan algoritma bersifat konstruksi — dan resistensi budaya terhadap satu-dimensi estetika penting untuk pluralitas.
Referensi
Little, A. C., et al. (2011). Facial attractiveness: evolutionary based research. PMC.
Comfort, W. E. (2022). The Neuroscience of Beauty (review). NCBI Bookshelf.
Stanford Encyclopedia of Philosophy. Aesthetic Experience.
Hussain, B. (2025). How AI and Social media are redefining aesthetic norms. ScienceDirect.
Tynes, B. et al. (2025). Effects of beauty filters on Black youths’ mental health (JAMA-linked reporting). The Guardian summary.

Komentar
Posting Komentar