Debat ‘Vande Mataram’ 2025: Nasionalisme, Identitas & Polarisasi di Parlemen India

Ilustrasi debat di parlemen India (Pic: Grok)

Parlemen dan partai harus prioritaskan isu ekonomi, layanan, pendidikan & kesehatan — bukan nostalgia simbolik — agar demokrasi tetap relevan


Pada 8 Desember 2025, Parlemen India membuka perdebatan resmi mengenang 150 tahun lagu “Vande Mataram,” yang menandai kebangkitan kembali kontroversi mengenai identitas nasional, sekularisme, dan politik memori. 


Debat ini bukan sekadar nostalgia, melainkan arena perebutan narasi: pemerintah memberi legitimasi baru pada Vande Mataram sebagai simbol patriotik, sementara oposisi dan kelompok minoritas memperingatkan potensi diskriminasi ideologis dan lahirnya polarisasi sosial. 


Artikel ini menggunakan metode analisis wacana terhadap pidato legislatif, liputan media, dan reaksi publik untuk mengevaluasi implikasi politik-kultural perdebatan tersebut. 


Hasil menunjukkan bahwa perdebatan memicu normalisasi retorika mayoritasisme, melemahkan klaim pluralisme historis, dan menandai pergeseran makna lagu dari “simbol kemerdekaan” menjadi “alat mobilisasi identitas.” 


Studi merekomendasikan proteksi legislatif terhadap kebebasan beragama, pembuatan pedoman resmi untuk simbol nasional, dan audit sejarah agar retorika patriotik tidak menghapus keberagaman identitas.



Latar Belakang & Signifikansi


“Vande Mataram” ditulis pada 1875 oleh penulis Bengali Bankim Chandra Chattopadhyay — menjadi lagu inspirasional saat perjuangan kemerdekaan. 


Historisnya, lagu ini sudah sejak lama kontroversial karena sejumlah larik dianggap mengandung referensi religius/hindu.  


Sejak masa kemerdekaan, lagu itu tidak secara resmi diangkat sebagai lagu kebangsaan nasional — menandakan sensitifitas pluralisme religius & etnis di India. 


Namun dengan peringatan 150 tahun pada 2025, isu tersebut kembali “dipakai” dalam arena politik resmi.  


Kontroversi ini menarik karena ia menyentuh tiga dimensi besar: identitas nasional & agama, hak minoritas & kebebasan sipil, serta penggunaan simbol sejarah dalam politik kontemporer.



Metodologi


Analisis wacana terhadap transkrip pidato di majelis legislatif (kelas: Orasi pembukaan oleh PM Narendra Modi, tanggapan oposisi) serta pernyataan partai dan legislator. Sumber utama: laporan langsung sesi sidang publik + liputan media nasional & internasional.  


Analisis media & opini publik: media cetak/daring, kolom opini, serta pernyataan pemuka agama dan kelompok minoritas untuk menangkap dimensi sosial-kultural dan resistensi publik.  


Teori identitas & nasionalisme: membandingkan literatur hipotesis nasionalisme kolektif dengan realitas multikultural India; menilai apakah penggunaan simbol seperti “Vande Mataram” memperkuat inklusifitas atau justru eksklusifitas.



Temuan & Argumen


1. Politisasi simbol historis untuk keuntungan electoral


Pemerintah memulai debat tepat sebelum pemilu daerah di beberapa wilayah (misalnya Benggala), menunjukkan potensi motivasi electoral. 


Kritik oposisi: debat dianggap sebagai upaya “mengalihkan perhatian” dari isu utama seperti inflasi, pengangguran, kemiskinan, dan reformasi politik.  


2. Resurfacing narasi mayoritasisme & delegitimasi pluralisme historis


Dalam orasinya, PM menyatakan bahwa pengabaian lagu itu di masa lalu (oleh partai-partai yang berkuasa) adalah hasil politik “appeasement” terhadap kelompok minoritas — ia menyebut keputusan itu sebagai “kneel before Muslim League”.  


Tuduhan bahwa persengketaan lagu ini dulu “menyemai benih pembelahan (partition)”: ini mengaitkan trauma sejarah 1947 dengan identitas kolektif sekarang — instrumen pencegahan pluralitas politik & sosial.  


3. Tekanan pada minoritas & kebebasan beragama


Kelompok minoritas (terutama Muslim) dan pendukung sekularisme melihat debat ini sebagai bentuk “ideologisasi patriotisme” — bahwa cinta pada bangsa harus dikaitkan dengan referensi religius-kultural tertentu. 


Banyak yang khawatir ini membuka pintu diskriminasi terhadap mereka yang menolak simbol tertentu berdasarkan keyakinan.  


Pernyataan dari pemuka agama Shia misalnya bahwa menyanyi “Vande Mataram” tidak melanggar iman — sebagai upaya meredam stigma pada minoritas Muslim.  


4. Pergeseran makna lagu dari simbol kemerdekaan ke alat identitas kontemporer


Lagu yang dulu bersifat universal dalam konteks perlawanan kolonial kini di-resketsa ulang sebagai monolit identitas Hindu-nasionalis, mengikis konotasi plural dalam sejarah kebebasan.


Ini memberi sinyal bahwa sejarah dan simbol nasional bisa “dibajak” untuk kebutuhan politik sekarang, bukan sekadar diingat sebagai warisan kemerdekaan.



Implikasi & Risiko


Normalisasi majoritarianisme: ketika simbol sejarah dikaitkan dengan identitas mayoritas, kelompok minoritas bisa merasa dilegitimasi untuk dipinggirkan.


Erosi toleransi pluralisme: negara yang diatur sebagai republik sekular bisa berubah menjadi republik identitas — dengan konsekuensi hukum, sosial, dan kemanusiaan serius.


Tetapi legitimasi sejarah terkoyak: mengklaim hak historis atas simbol bisa memecah narasi kolektif — bahaya bagi kohesi nasional.


Politik simbol sebagai distraksi: Kandidat & partai bisa memakai nostalgia & simbol untuk menutupi kegagalan kebijakan ekonomi/sosial — demokrasi jadi topeng retorika.



Rekomendasi


1. Pembahasan konstitusional & historis independen: Bentuk komisi lintas partai + sejarawan + pemimpin minoritas untuk meninjau status hukum & sosial lagu/simbol nasional — jangan biarkan hanya keputusan politik.


2. Pedoman resmi pluralisme simbolik: Negara menetapkan bahwa simbol nasional tidak boleh dikaitkan dengan identitas etnis/religius tunggal; setiap warga punya hak untuk memilih cara identitas nasional mereka.


3. Edukasi sejarah & toleransi plural: Kurikulum sejarah harus menekankan warisan kemerdekaan plural — bukan narasi satu agama/etnis.


4. Perlindungan hak minoritas & kebebasan beragama: Pastikan bahwa debat simbol tidak diikuti regulasi diskriminatif; warga punya hak memilih simbol nasional atau alternatif tanpa takut kriminalisasi.


5. Pemisahan politik identitas & kebijakan publik nyata: Parlemen dan partai harus prioritaskan isu ekonomi, layanan, pendidikan & kesehatan — bukan nostalgia simbolik — agar demokrasi tetap relevan.











Referensi 

India Today. (2025, 6 Desember). Parliament Set For Historic Debate On 150th Anniversary Of Vande Mataram.  

Hindustan Times. (2025, 2 Desember). Lok Sabha floor leaders agree to debate on 150 yrs of Vande Mataram, poll reform.  

The Print. (2025, 7 Desember). Winter session: Lok Sabha to hold discussion on 150 years of Vande Mataram on 8 December.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd