Pemindahan Diaspora Yahudi-India ke Israel: Strategi Penolakan Dua Negara dan Kriminalisasi Perlawanan Palestina

Ilustrasi Yahudi-India (Pic: Grok)

Pemindahan diaspora Yahudi-India ke Israel bukan sekadar migrasi; ia merupakan bagian dari strategi kolonial-demografis yang menegarkan dominasi Israel dan melemahkan klaim nasional Palestina


Dalam konflik Palestina–Israel periode 2023–2025, selain kekerasan militer, terjadi dinamika demografis dan hukum yang memperlihatkan strategi kolonial modern: pemindahan diaspora Yahudi, penolakan struktur politik dua-negara, dan penggunaan hukum militer serta detensi administratif sebagai instrumen dominasi. 


Tulisan ini menggunakan analisis politik identitas, teori kolonialisme demografis, dan norma internasional hak asasi manusia untuk mengevaluasi: (1) pemindahan diaspora Yahudi dari India ke Israel sebagai bagian dari “rekayasa demografi”; (2) alasan struktural penolakan Israel terhadap solusi dua-negara; (3) konstruksi label “teroris” dan legitimasi kekerasan; (4) prospek keadilan bagi tahanan Palestina setelah pelucutan senjata atau kemenangan militer. 


Temuan menunjukkan bahwa pendekatan Israel di bidang demografi, politik, dan hukum memperburuk ketidakadilan struktural, memproduksi penderitaan sipil sistemik, dan menolak setiap kemungkinan rekonsiliasi bermakna — kecuali jika ada intervensi global yang serius.



Pemindahan Diaspora Yahudi-India: Rekayasa Demografi


1.Kasus Bnei Menashe


Pemerintah Israel pada November 2025 menyetujui rencana menerima sekitar 5.800 anggota komunitas Bnei Menashe dari India dalam rentang waktu hingga 2030.  


Komunitas ini akan dipusatkan di wilayah utara (Galilea / Nof HaGalil), area yang dekat dengan perbatasan Lebanon — wilayah strategis dan beresiko konflik.  


Pemerintah menyebut langkah ini “penting dan Zionis,” dengan tujuan memperkuat demografi Yahudi di utara Israel.  


2. Implikasi terhadap Konteks Pendudukan & Permukiman


Pendatang baru ini akan menambah populasi Yahudi di area sengketa; secara politik ini mempermudah legitimasi kontrol Israel atas wilayah tersebut melalui “fakta demografis.”


Strategi ini konsisten dengan pola kolonial-modern lewat demografi: mengubah komposisi populasi untuk menguatkan klaim teritorial — bukan melalui konsensus atau perundingan.


3.Kesimpulan Parsial


Pemindahan diaspora Yahudi dari luar tidak bisa dilihat sebagai migrasi biasa; dalam konteks konflik ini, ia berfungsi sebagai alat geopolitik dan kolonial — memperkuat hegemoni Israel, melemahkan klaim nasional Palestina, dan membuat solusi dua-negara lebih sulit direalisasikan.



Penolakan Israel terhadap Solusi Dua-Negara


1. Landasan Penolakan


Banyak warga Yahudi-Israel dan partai politik menolak pembentukan negara Palestina merdeka di West Bank & Gaza, karena dianggap mengancam “keamanan nasional,” akses strategis, dan dominasi Yahudi.  


Studi dan laporan menunjukkan bahwa permintaan Israel sering termasuk “dilucuti senjata” — yaitu syarat demiliterisasi untuk Palestina, yang menurut analis melemahkan kedaulatan negara Palestina sehingga tak benar-benar merdeka.  


2.Dampak dari Penolakan Terhadap Prospek Perdamaian


Penolakan solusi dua-negara menegaskan skenario satu-negara dengan kontrol Israel, yang cenderung mengabadikan status quo pendudukan, apartheid de facto, dan ketidaksetaraan struktural.


Hal ini makin diperparah dengan ekspansi permukiman ilegal — termasuk rencana pembangunan ribuan rumah baru di West Bank — yang dirancang untuk menghalangi atau membuat kemerdekaan Palestina tidak mungkin secara demografis maupun geografis.  


3. Kesimpulan Parsial


Penolakan Israel terhadap solusi dua-negara bukan semata soal keamanan — tapi bagian dari strategi struktural untuk memastikan kontrol terus-menerus melalui demografi dan kolonisasi nyata. 


Dengan demikian, mikro-keputusan demografis seperti pemindahan diaspora Yahudi-India terkait erat dengan makro-struktur penjajahan.


Label “Teroris” vs Kekerasan Negara — Siapa yang Layak Dicap?


1. Konstruk Hukum & Diskursif Terorisme


Label “teroris” cenderung diarahkan pada aktor non-negara (seperti militan). Negara (atau militer reguler) yang melakukan kekerasan masal terhadap populasi sipil jarang disebut “teroris,” melainkan “pasukan keamanan” atau “operasi militer.”


Dalam konflik ini, aksi militer Israel terhadap warga sipil Palestina — termasuk pemboman, penembakan di luar hukum, detensi massal, penyiksaan — secara struktural mendapat impunitas. 


Banyak kejadian dianggap “pelanggaran hak asasi” tapi jarang dianggap “terorisme negara.”


2. Ironi Penilaian Moral & Legal Internasional


Ketika kelompok seperti Hamas dihukum sebagai “teroris” atas serangan terhadap warga sipil Israel, reaksi internasional keras. 

Namun ketika negara menggunakan kekerasan terhadap populasi sipil Palestina, respons internasional jauh lebih lemah, sering dikompromikan politik.


Ini menunjukkan bias struktural dalam hukum internasional dan sistem HAM global — bahwa terorisme dipahami dengan definisi subjektif tergantung aktor, bukan penyebab atau dampaknya.


3.Kesimpulan Parsial


Label “teroris” tidak adil jika hanya dipakai pada non-negara. 


Kekerasan negara terhadap warga sipil — jika sistematis dan terstruktur — semestinya mendapat kategorisasi hukum yang setara (misalnya “kejahatan perang” atau “kejahatan terhadap kemanusiaan”). 


Tapi hegemonia definisi membiarkan sistem kekuasaan terus lepas tangan.



Pelucutan Senjata Hamas — Harapan atau Ilusi Keadilan?


1.Basis Keraguan Keadilan


Rekam jejak detensi administratif, penyiksaan, kematian tahanan Palestina, pembangunan pemukiman ilegal, dan blokade Gaza menunjukkan bahwa sistem keamanan Israel telah bertindak di luar norma internasional.


Dengan sejarah itu, klaim bahwa Israel akan memperlakukan mantan militan Hamas secara adil pasca-pelucutan senjata — bahkan jika militerinya ditarik — sangat diragukan.


2.Risiko Kekerasan dan Kekuasaan Baru


Jika Hamas dilucuti dan komunitas militan diurai, Israel tetap menguasai struktur keamanan, perbatasan, dan kebijakan demografi — artinya kontrol terhadap populasi Palestina tetap ada, hanya dengan wajah sipil (administratif) bukan militer terbuka.


Pelucutan senjata seorang diri tidak mengubah struktur kekuasaan; tanpa rekonstruksi sistemik, maka pelanggaran HAM, penindasan, atau diskriminasi bisa tetap terjadi, bahkan dengan embel-embel “rehabilitasi.”


.3 Kesimpulan Parsial


Mengandalkan pelucutan senjata sebagai jaminan keadilan untuk Palestina adalah naif jika tidak ada jaminan struktural: pengakuan hak politik, pemulihan tanah, jaminan perlindungan HAM, dan pembubaran kebijakan kolonial. Tanpa itu, pelucutan senjata hanyalah simbol kosong.



Kesimpulan Umum & Implikasi


1. Pemindahan diaspora Yahudi-India ke Israel bukan sekadar migrasi; ia merupakan bagian dari strategi kolonial-demografis yang menegarkan dominasi Israel dan melemahkan klaim nasional Palestina.


2. Penolakan pada solusi dua-negara dan ekspansi pemukiman menunjukkan bahwa Israel mengejar kontrol permanen, bukan rekonsiliasi.


3. Label “teroris” dan definisi kekerasan sangat tergantung siapa pelakunya — negara atau non-negara — menunjukkan bias struktural dalam norma internasional.


4. Pelucutan senjata bagi Hamas, tanpa reformasi struktural, tidak akan mengakhiri penindasan; justru bisa membuka represi halus tapi permanen.


5. Krisis ini lebih dari konflik bersenjata: ini soal legitimasi kekuasaan, identitas, demografi, dan keadilan global — dan dunia masih membiarkannya berlangsung.








Referensi

“Israel Bersiap Memulangkan Suku Yahudi ‘Bnei Menashe’ dari India” – berbagai media (2025).  

“Why Israelis Oppose a Two State Solution” – survei & analisis (2025).  

“UN calls for viable two-State solution” – resolusi dan pernyataan internasional (2025).  

“Advocacy Groups condemn settlement expansion in West Bank” – laporan kritis 2025.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd