Perang Border yang Tak Pernah Mati: Revolusi Kekerasan Thailand-Kamboja Desember 2025
![]() |
| Ilustrasi bentrokan Thailand-Kamboja (Pic: Grok) |
Tanpa rekonsiliasi struktural, perang border tidak pernah mati — cuma tidur, lalu bangun lagi dengan darah dan tangisan warga sipil
Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali meletus dramatis pada 8 Desember 2025—setelah gencatan senjata beberapa bulan sebelumnya—ditandai dengan eskalasi militer, serangan udara menggunakan jet tempur, dan penembakan lintas perbatasan.
Insiden terbaru ini menyusul bentrokan fatal di awal minggu yang mengakibatkan tewasnya seorang prajurit Thailand dan korban sipil di pihak Kamboja.
Krisis ini menunjukkan bahwa gencatan bersenjata maupun perjanjian damai bersifat sementara bila akar sejarah klaim teritorial, peta kolonial, dan ketegangan identitas tidak diatasi.
Tulisan ini mengeksplorasi dinamika konflik terkini, dampak kemanusiaan terhadap warga sipil, serta kelemahan mekanisme penyelesaian damai regional.
Hasil menunjukkan bahwa perang border telah berubah dari konflik bersenjata menjadi perang sistemik atas kontrol wilayah, hak milik, dan narasi nasional—menyuburkan sirkus kekerasan yang berulang.
Penelitian merekomendasikan intervensi internasional, peninjauan ulang demarkasi perbatasan, dan perlindungan HAM serta warga sipil.
Latar Belakang
Konflik Thailand–Kamboja bukan fenomena baru: klaim wilayah atas zona perbatasan — termasuk situs historis / kuil — telah memicu bentrokan berkali-kali sejak lama.
Police-ceasefire yang brokered bulan Oktober/November 2025 ternyata rapuh: tuduhan pelanggaran tambang darat (landmine), mobilisasi militer, dan klaim provokasi menandai awal runtuhnya damai.
8 Desember 2025: timbul kembali kekerasan berskala besar — jet tempur F-16 Thailand diluncurkan, serangan udara ke posisi militer Kamboja, klaim pelanggaran gencatan, korban militer dan sipil, serta evakuasi massal warga di zona perbatasan.
Metodologi
• Metode studi kasus komparatif: membandingkan dua fase konflik utama 2025 — bentrokan awal Juli dan eskalasi Desember — untuk mengidentifikasi pola struktural.
• Data primer dari laporan militer, pernyataan resmi pemerintah, dan data pengungsi/korban.
• Data sekunder dari peliputan media internasional dan organisasi HAM — mencakup data korban sipil, pelanggaran HAM, serta peringatan terhadap penggunaan senjata berat atau cluster munitions.
• Analisis normatif berdasarkan hukum humaniter internasional dan teori konflik perbatasan (sejarah kolonial, demarkasi, nasionalisme) sebagai kerangka konseptual.
Temuan Utama
Aspek | Temuan |
Eskalasi militer & pelanggaran ceasefire | Serangan udara kembali terjadi 8 Desember 2025 — menandai runtuhnya gencatan. Thailand klaim balasan setelah tentara tewas; Kamboja klaim serangan terjadi terlebih dahulu. |
Korban sipil & pengungsian besar-besaran | Korban antara militer dan sipil; ribuan warga dievakuasi; dampak pada penduduk perbatasan. |
Siklus kekerasan berulang (chronification) | Konflik 2025 (Juli & Desember) menunjukkan pola: klaim wilayah → bentrokan → gencatan → pelanggaran → eskalasi ulang. Bukti bahwa demarkasi dan mediasi gagal menangani akar permasalahan. |
Negara & kedaulatan vs hak warga sipil | Campur aduk antara klaim militer atas “keamanan nasional/perbatasan” vs pelanggaran terhadap warga sipil & hak asasi — menunjukkan prioritas militer atas kemanusiaan. |
Kegagalan mekanisme regional & diplomasi | Meskipun ada gencatan senjata dan mediasi internasional, konflik kembali meledak — menunjukkan bahwa diplomasi dangkal tanpa resolusi struktural (perbatasan, klaim historis, demarkasi) tidak cukup. |
Konflik ini bukan sekadar “perang sesaat”, melainkan perang sistemik atas identitas, sejarah, dan kontrol wilayah — tipikal warisan peta kolonial yang belum diselesaikan.
Kesepakatan damai/gencatan tanpa rekonsiliasi struktural mudah runtuh. Seperti plester di luka dalam: menutup sementara, tapi sakitnya tetap ada — dan bisa meledak kapan saja.
Warga sipil menjadi korban paling rapuh: meskipun bukan bagian militer, mereka menanggung dampak paling besar — kematian, kehilangan rumah, pengungsian, hilangnya mata pencaharian, kerusakan sosial.
Negara mengandalkan kekerasan untuk klaim kedaulatan — menunjukkan prioritas yang problematik: militer dan kontrol wilayah lebih penting dari hak asasi dan perlindungan warga.
Rekomendasi
1. Moratorium terhadap semua operasi militer di zona perbatasan sampai demarkasi final dan verifikasi bersama (Thailand, Kamboja, dan pihak internasional).
2. Mekanisme pemantauan independen oleh ASEAN / PBB terkait hak asasi, pengungsi, pelanggaran hukum humaniter.
3. Dialog historis-teritorial: audit ulang peta kolonial, referensi warisan budaya & komunitas lokal, mendasarkan klaim pada sejarah, bukan militer.
4. Perlindungan warga sipil & korban: jaminan bantuan kemanusiaan, kompensasi, rehabilitasi sosial-ekonomi.
5. Transparansi & akuntabilitas militer: peninjauan kembali taktik militer, pelarangan penggunaan senjata berat di area padat penduduk, dan komitmen non-represif.
Konflik perbatasan Thailand–Kamboja Desember 2025 membuktikan satu hal sederhana tapi kejam: tanpa rekonsiliasi struktural, perang border tidak pernah mati — cuma tidur, lalu bangun lagi dengan darah dan tangisan warga sipil.
Gencatan bukan akhir, tapi jeda sementara bagi kekerasan sistemik. Untuk menutup siklus itu, diperlukan tindakan radikal: moratorium militer, demarkasi transparan, proteksi hak sipil, dan rekonsiliasi historis.
Tanpa itu, perang dan penderitaan akan terus berputar—seperti lagu lama yang diputar ulang sampai rusak datanya.
Referensi
• The Guardian. (2025, 8 Desember). Thailand launches airstrikes along disputed border with Cambodia as tensions flare.
• Reuters. (2025, 8 Desember). Thailand launches airstrikes at Cambodia as border tensions reignite.
• Human Rights Watch. (2025, 28 Juli). Thailand/Cambodia: Protect Civilians Amid Border Clashes.
• ANTARA News. (2025, 25 Juli). Thailand–Kamboja saling serang, ratusan sekolah di perbatasan ditutup.
• Agence Anadolu. (2025, 24 Juli). 12 orang tewas akibat konflik perbatasan Thailand-Kamboja akibat serangan udara dan roket.

Komentar
Posting Komentar