Amnesti Panggung dan Bayangan Genosida: Tatmadaw, Rohingya, dan Krisis Kemanusiaan Myanmar 2025

Ilustrasi amnesti tahanan politik (Pic: Grok)

Amnesti 2025 bukan pertanda berkurangnya penindasan di Myanmar. Ia adalah upaya legitimasi simbolik yang gagal menyentuh akar masalah


November 2025, Tatmadaw membebaskan lebih dari 3.000 tahanan politik—diklaim persiapan menuju pemilu — dalam sebuah amnesti massal. 


Namun, di balik manuver ini masih terus berlangsung konflik bersenjata, penindasan etnis, dan krisis hak asasi terhadap minoritas (termasuk Rohingya). 


Tulisan ini mengevaluasi: apakah amnesti itu menunjukkan perubahan nyata, atau sekadar alat legitimasi rezim; bagaimana nasib Rohingya dan minoritas lainnya dalam skema kekuasaan; serta apa arti “perdamaian” di tengah genosida struktural. 


Temuan menunjukkan bahwa meskipun ada pembebasan tahanan, impunitas, kolonialisme militer, dan marginalisasi etnis tetap berakar — sehingga krisis kemanusiaan Myanmar jauh dari usai.



Pendahuluan


Pada 27–28 November 2025, rezim militer Myanmar mengumumkan amnesti massal: 3.085 tahanan politik dibebaskan dan 5.580 kasus dibatalkan.  


Angka total tahanan politik sejak 2021 diperkirakan puluhan ribu, banyak dari mereka menyandang dakwaan kontroversial di bawah pasal “hasutan/kerusuhan”.  


Sementara itu, minoritas etnis seperti Rohingya, serta komunitas etnis lain di Myanmar — terutama di wilayah konflik — tetap menghadapi marginalisasi, pengusiran, kekerasan, dan pelanggaran HAM serius.


Pertanyaan kunci: apakah amnesti ini memberi harapan nyata, atau sekadar operasi kosmetik untuk menutup aksi represif yang lebih sistemik? Bagaimana nasib Rohingya dan minoritas di tengah kekuasaan militer yang memanipulasi hukum dan demografi?



Metodologi


Analisis dokumen laporan berita & organisasi HAM dari November–Desember 2025


Kerangka teori: kekuasaan militer, kolonialisme internal, hak asasi manusia dan mekanisme impunitas.


Studi kasus: pembebasan tahanan politik vs situasi minoritas Rohingya dan wilayah konflik bersenjata.



Analisis & Temuan


1. Amnesti 2025: Legitimasi atau Alibi?


Tatmadaw mengumumkan amnesti sebagai “langkah demokrasi menjelang pemilu.” Namun pemimpin oposisi besar tetap dipenjara; media dikekang; banyak partai dilarang ikut — menunjukkan pemilu jauh dari demokratis.  


Dengan demikian, amnesti tampak sebagai manuver politik: bersihkan wajah rezim secara kosmetik tanpa ubah struktur penindasan.


2. Darurat Militer & Konflik Etnis Tidak Padam


Sejak 2021, konflik bersenjata meluas; junta tetap menerapkan darurat militer di banyak distrik, khususnya wilayah dengan kelompok etnis minoritas.  


Minoritas seperti Rohingya tetap dalam status penindasan, penyingkiran, pengusiran, serta kekerasan struktural — meski secara resmi krisis ini sering disisihkan dari agenda “amnesti umum”.


Artinya, amnesti dan konflik etnis berjalan paralel: satu dilihat sebagai konsesi politik, yang lain sebagai alat kekuasaan yang dipertahankan.


3. Impunitas & Struktur Kekuasaan Militer


Pembebasan tahanan politik tidak serta-merta diikuti transparansi, pengakuan hak, atau rekonsiliasi — mekanisme struktural tetap utuh; militer tetap memegang kendali atas aparat keamanan, sistem peradilan, dan administrasi wilayah.


Pelanggaran hak asasi di wilayah konflik (termasuk pelanggaran terhadap minoritas, pengungsian paksa, kekerasan kolektif) tetap terjadi di belakang layar, jauh dari spotlight internasional.



Amnesti 2025 bukan pertanda berkurangnya penindasan di Myanmar. Ia adalah upaya legitimasi simbolik yang gagal menyentuh akar masalah: kontrol militer atas negara, kekerasan etnis, struktur impunitas, dan marginalisasi penduduk minoritas seperti Rohingya.


Tanpa rekonsiliasi struktural, jaminan HAM, pembubaran status darurat militer, dan penyelesaian hak atas tanah serta status kewarganegaraan bagi minoritas — krisis kemanusiaan di Myanmar hanya berganti wajah, bukan berhenti.









Referensi

Amnesty International. (2023–2025). Reports on Myanmar and the Rohingya crisis. Amnesty International. https://www.amnesty.org

Associated Press. (2023–2025). Rohingya displacement, Myanmar conflict, and regional humanitarian updates. AP News. https://apnews.com

Human Rights Watch. (2024–2025). World report: Myanmar. Human Rights Watch. https://www.hrw.org

International Court of Justice. (2023–2025). The Gambia v. Myanmar: Proceedings concerning the application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. ICJ. https://www.icj-cij.org

International Crisis Group. (2023–2025). Myanmar briefings. International Crisis Group. https://www.crisisgroup.org

Médecins Sans Frontières. (2023–2025). Health assessments and emergency reports on Rohingya refugees in Bangladesh. MSF. https://www.msf.org

Reuters. (2024–2025). Investigative series on Myanmar military operations and Rohingya conditions.Reuters. https://www.reuters.com

United Nations High Commissioner for Refugees. (2023–2025). Rohingya emergency data portal.UNHCR. https://data.unhcr.org

United Nations Human Rights Council. (2023–2025). Reports of the Independent Investigative Mechanism for Myanmar (IIMM). UNHRC. https://www.ohchr.org

United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. (2024–2025). Myanmar humanitarian update. UNOCHA. https://www.unocha.org

Al Jazeera Media Network. (2023–2025). Investigations and field reports on Myanmar and Rohingya populations. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd