Pembukaan Rafah, Ambisi Aneksasi Israel, dan Pemindahan Diaspora: Rekayasa Ruang dan Kekuatan Politik
![]() |
| Ilustrasi kota hancur (Pic: Meta AI) |
Tindakan kemanusiaan riskan menjadi topeng yang menutup praktik aneksasi bertahap
Pada 3 Desember 2025 Israel menyatakan akan membuka kembali Jalur Rafah untuk memungkinkan evakuasi warga Gaza ke Mesir “dalam beberapa hari” — langkah yang dipicu oleh tekanan diplomatik dan kondisi kemanusiaan yang parah.
Langkah taktis ini harus dibaca bersama praktik kebijakan Israel yang lebih luas: ekspansi permukiman di Tepi Barat, retorika aneksasi, dan inisiatif demografis seperti rencana pemindahan komunitas Yahudi kecil dari India.
Tulisan ini menganalisis korelasi antara tindakan operasional seperti pembukaan perbatasan dengan strategi geopolitik jangka panjang—rekayasa demografi, keamanan, dan legitimasi internasional—serta implikasi hukum dan hak asasi manusia.
Latar Belakang Faktual
Otoritas Israel (COGAT) mengumumkan Rafah akan dibuka “dalam beberapa hari” untuk memungkinkan warga Gaza yang membutuhkan perawatan medis dan evakuasi keluar ke Mesir. Pernyataan ini dikonfirmasi oleh beberapa media internasional.
Pembukaan tersebut terjadi dalam konteks gencatan senjata yang dimediasi AS dan di bawah pengawasan internasional meski detail teknisnya — dua arah vs satu arah, pengawasan Mesir/EU/ICRC — masih diperdebatkan.
Paralel dengan itu, selama 2024–2025 ada peningkatan nyata dalam ekspansi permukiman dan langkah administratif yang memperkuat kontrol Israel atas Tepi Barat—fenomena yang digolongkan banyak pemantau HAM sebagai praktik aneksasi de facto.
Di panggung demografis, Israel telah menyetujui rencana untuk memfasilitasi aliyah kelompok Yahudi kecil dari India (Bnei Menashe/Bnei Menashe-like) sebagai bagian dari kebijakan imigrasi yang juga mengandung dimensi politik ruang.
Kerangka Teoretik
• Aneksasi de facto: bukan hanya legislatif formal; ini bisa terjadi lewat praktik faktual: pemukiman, kontrol administratif, fragmentasi wilayah Palestina, dan pembentukan “facts on the ground” yang kemudian sulit dibalik oleh perundingan.
• Rekayasa demografi: pemindahan penduduk pro-negara (mis. diaspora Yahudi) ke wilayah sengketa adalah strategi klasik kolonial-modern untuk memperkuat klaim teritorial dan mengubah keseimbangan politik-demografis.
• Legitimasi internasional: langkah-langkah yang menampilkan respons kemanusiaan (mis. buka Rafah) dapat digunakan untuk menetralkan kecaman global sementara struktur kontrol tetap diterapkan di level administratif dan demografis.
Analisis: Mengapa Pembukaan Rafah Bisa Terlihat “Humanitarian” tapi Jangka Panjangnya Problematis
1.Fungsi Taktis Pembukaan Rafah
• Meredam tekanan internasional:
Pembukaan perbatasan memberi citra kepatuhan terhadap norma kemanusiaan, mengurangi tekanan pada forum internasional. (bukti: pengumuman COGAT dan liputan media internasional).
• Kontrol selektif: Jika pembukaan hanya memungkinkan warga keluar (one-way) atau hanya untuk kasus tertentu — akses kawat yang selektif ini memungkinkan otoritas mengontrol pergerakan penduduk tanpa mengubah status kontrol atas wilayah.
2. Fungsi Strategis Jangka Panjang
• Memungkinkan “reset” politik”: Taktik bantuan/evakuasi bisa dijadikan leverage negoisasi untuk tuntutan lain (mis. penyerahan jenazah sandera, demiliterisasi Hamas).
• Memfasilitasi rekayasa demografi: Sambil membuka jalur kemanusiaan, negara dapat terus mendorong kebijakan pemukiman, lalu memperkenalkan program migrasi yang menguatkan unsur demografis pro-Israel—membuat solusi dua-negara makin sulit. (lihat kebijakan pemukiman & rencana membawa diaspora Yahudi-India).
Bukti dan Praktik: Ekspansi Permukiman + Pemindahan Diaspora
• Ekspansi permukiman: Laporan lembaga HAM dan PBB menunjukkan peningkatan izin pembangunan dan serangkaian langkah administratif yang memfasilitasi perluasan pemukiman di West Bank—fenomena yang konsisten dengan aneksasi de facto. Ini mengubah peta demografis dan menyangkal teritorial Palestina.
• Pemindahan Yahudi-India (Bnei Menashe): Rencana menampung ribuan diaspora dari India (pengumuman pemerintah Israel 2025) bukan semata soal “menolong sekutu agama”—dalam konteks wilayah yang rawan, pola ini berpotensi menambah basis demografis yang memperkuat kontrol.
Implikasi Hukum Internasional & HAM
• Penggunaan bantuan kemanusiaan sebagai alat politik dapat dianggap instrumental; jika tindakan ini dipakai untuk mempertahankan praktik yang melanggar hukum humaniter (blokade, denegasi akses), itu berpotensi memicu tanggung jawab internasional. (ICJ/UN monitoring relevan).
• Pelegaan aneksasi: Perjanjian internasional dan resolusi PBB menentang pencaplokan wilayah dengan cara paksa; praktik de facto tetap mendapat kecaman, namun penegakan hukum internasional lemah kecuali ada aksi kolektif besar.
Apakah Rafah “Buka” = Israel Mundur dari Gaza/West Bank?
Singkatnya: tidak otomatis.
Pembukaan perbatasan untuk evakuasi medis adalah langkah manusiawi — tetapi tidak sama dengan pembalikan struktural terhadap kebijakan yang menciptakan kontrol teritorial (pemukiman, blokade, kontrol udara/laut, kebijakan perbatasan).
Tanpa jaminan:
• penarikan pasukan nyata,
• pembongkaran pemukiman ilegal,
• akses penuh bantuan & rekonstruksi,
• solusi politik yang menjamin kedaulatan Palestina,
maka pembukaan Rafah berisiko menjadi sirkus legitimasi: panggung singkat untuk menenangkan opini global tanpa mengubah realitas pendudukan.
Rekomendasi Kebijakan
1. Syarat Pembukaan Terikat Verifikasi Independen: Pengoperasian Rafah harus disertai pengawasan ICRC/EU/UN yang jelas, dua arah, dan dengan mekanisme aman untuk pasien pulang-pergi.
2. Penghentian Ekspansi Pemukiman: Komunitas internasional harus menuntut moratorium nyata atas izin baru & pengerjaan infrastruktur permukiman.
3. Audit Demografi & Kebijakan Imigrasi: Setiap program aliyah besar yang ditempatkan di wilayah sensitif harus dievaluasi efek geopolitiknya; donor internasional harus mempertanyakan dampaknya terhadap proses perdamaian.
4. Tekanan Diplomatik Terkoordinasi: Resolusi tidak cukup; butuh tekanan terkoordinasi (sanksi targeted, embargo senjata selektif, mekanisme hukum) untuk menurunkan insentif aneksasi de facto.
Pembukaan Rafah pada 3 Desember 2025 memang membawa napas lega bagi korban yang butuh perawatan.
Namun dalam kerangka geopolitik yang lebih luas langkah ini harus dicurigai sebagai manuver yang mengaburkan garis antara bantuan kemanusiaan dan strategi politik.
Tanpa perubahan struktural yang nyata terhadap kebijakan pemukiman, kontrol administratif, dan rekayasa demografi, tindakan kemanusiaan riskan menjadi topeng yang menutup praktik aneksasi bertahap.
Referensi
Al Jazeera. (2025, December 3). Israel to reopen Rafah crossing under international pressure. Al Jazeera English.
Associated Press. (2025). Israel agrees to partial reopening of Rafah crossing amid ceasefire framework. AP News.
BBC News. (2025). Gaza crisis deepens as Israel expands settlement approvals and resists two-state framework. BBC.
Haaretz. (2025). COGAT confirms Rafah opening for medical evacuations in coordination with Egypt. Haaretz.
Jerusalem Post. (2025). Israel to facilitate aliyah for Indian Jewish community as intake expands in 2025. The Jerusalem Post.
Middle East Eye. (2025). International backlash grows over West Bank settlement expansion and de facto annexation. Middle East Eye.
The Guardian. (2025). UN warns of serious violations as Gaza access remains restricted despite announced border reopening. The Guardian.
United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). (2024–2025). Occupied Palestinian Territory humanitarian updates. United Nations.
UN Human Rights Council. (2024–2025). Reports on extrajudicial killings, settlement expansion, and violations under occupation. United Nations.

Komentar
Posting Komentar