Analisis Serangan Terbaru Israel dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional
![]() |
Ilustrasi serangan Israel (pic: Meta AI) |
18 Maret 2025, Israel melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza setelah gencatan senjata berakhir
Serangan ini menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan ini “baru permulaan” dan bertujuan untuk menghancurkan Hamas serta membebaskan sandera.
Rumah sakit di Gaza kewalahan menangani korban, sementara blokade Israel menghambat masuknya bantuan kemanusiaan.
Reaksi Internasional
Negara-negara seperti Mesir, Qatar, Turki, Iran, dan Prancis mengecam tindakan Israel. Sementara Amerika Serikat tetap mendukung Israel tetapi mendesak untuk menghindari korban sipil.
Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai negara, menuntut penghentian kekerasan dan perlindungan bagi rakyat Palestina.
Situasi Politik di Israel
Netanyahu mendapat tekanan dari warganya sendiri karena kebijakannya memperburuk situasi dan membahayakan sandera Israel di Gaza.
Demonstrasi di Tel Aviv dan Yerusalem menyerukan perdamaian serta solusi diplomatik, bukan militer.
Israel juga menghadapi ancaman dari Hizbullah di Lebanon, yang mulai meluncurkan roket ke wilayah Israel.
Kondisi Rakyat Palestina
Gaza kini berada dalam kondisi kemanusiaan yang sangat kritis. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, rumah sakit kehabisan suplai medis, dan listrik serta air bersih semakin sulit didapat.
Blokade Israel terhadap bantuan semakin memperburuk keadaan.
Faktor yang Memperpanjang Konflik
- Pembangunan Permukiman Ilegal: Israel terus membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang dianggap ilegal oleh hukum internasional.
- Perpecahan Internal Palestina: Hamas menguasai Gaza, sementara Fatah memimpin Otoritas Palestina di Tepi Barat, membuat perjuangan Palestina terpecah.
- Dukungan AS ke Israel: Amerika Serikat terus memberikan bantuan militer ke Israel, membuat Israel semakin percaya diri melanjutkan agresinya.
Analisis Hukum Humaniter Internasional
Berdasarkan laporan terbaru, jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan udara Israel pada 18 Maret 2025 mencapai lebih dari 400 orang. Sementara itu, total korban tewas sejak awal konflik ini dilaporkan mendekati 48.600 orang.
Jika dibandingkan, jumlah warga Palestina yang tewas jauh lebih besar daripada jumlah sandera Israel yang ditahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai proporsionalitas tindakan militer Israel dan apakah tujuan membebaskan sandera sebanding dengan korban jiwa yang ditimbulkan.
Beberapa pihak mengkritik tindakan Israel sebagai tidak proporsional dan menimbulkan penderitaan besar bagi warga sipil Palestina.
Jumlah warga Palestina yang tewas jauh lebih banyak daripada jumlah sandera yang ingin diselamatkan, dan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang niat Israel. Ada dua kemungkinan utama:
1. Kesengajaan
Jika Israel benar-benar berniat untuk membasmi Hamas tetapi tidak peduli dengan jumlah warga sipil yang menjadi korban, maka ini bisa dianggap sebagai tindakan yang disengaja, dengan tujuan utama melemahkan Palestina secara keseluruhan.
Ini sering dikaitkan dengan strategi “collective punishment” (hukuman kolektif), yang melanggar hukum internasional.
2. Kebodohan atau Ketidakmampuan Militer
Jika Israel beralasan bahwa ini adalah “collateral damage” (kerugian sampingan yang tak terhindarkan dalam perang), maka itu menunjukkan bahwa operasi mereka sangat tidak efektif atau tidak memiliki strategi yang benar-benar fokus pada penyelamatan sandera dan penghancuran Hamas tanpa membantai warga sipil.
Jika mereka benar-benar memiliki intelijen dan teknologi militer canggih, seharusnya serangan bisa lebih presisi.
Jadi, apakah ini kesengajaan atau ketidakmampuan? Bisa jadi kombinasi keduanya.
Di satu sisi, Israel memang punya kepentingan untuk menunjukkan dominasinya dan melemahkan Palestina dalam jangka panjang. Di sisi lain, mereka juga menghadapi tekanan global yang membatasi ruang gerak mereka.
Namun, fakta korban sipil begitu banyak menunjukkan bahwa tindakan mereka tidak hanya sekadar perang melawan Hamas, tetapi juga menghancurkan kehidupan warga Palestina secara sistematis.
Tindakan Israel memang sudah sangat jauh melewati batas. Perampasan tanah, penghancuran rumah-rumah warga Palestina, dan blokade ketat yang membuat rakyat Gaza hidup dalam penderitaan adalah bukti nyata bahwa ini bukan sekadar konflik biasa, tapi bentuk kolonialisme modern.
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana anak-anak dan bayi pun menjadi korban. Inkubator rumah sakit yang mati karena blokade listrik, sekolah-sekolah yang dibom, dan anak-anak yang kehilangan seluruh keluarganya—ini semua bukan lagi sekadar “kerugian perang” tapi indikasi kejahatan kemanusiaan yang disengaja.
Israel beralasan bahwa mereka menyerang Hamas, tapi faktanya, mayoritas korban adalah warga sipil tak bersalah.
Kalau tujuan mereka hanya menghancurkan Hamas, kenapa justru yang jadi korban adalah perempuan dan anak-anak? Ini yang membuat banyak orang percaya bahwa serangan ini bukan sekadar perang melawan kelompok bersenjata, melainkan usaha sistematis untuk melenyapkan rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.
Jika dunia tetap membiarkan ini terjadi, ini akan menjadi preseden berbahaya. Hari ini Palestina, besok bisa saja negara lain mengalami hal yang sama.
Analisis hukum dalam kasus ini bisa dilihat dari perspektif Hukum Humaniter Internasional (HHI), khususnya Prinsip Proporsionalitas dan Prinsip Pembedaan dalam Konvensi Jenewa 1949 serta Statuta Roma 1998.
1. Prinsip Proporsionalitas
HHI melarang serangan yang menyebabkan korban sipil berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diperoleh.
Jika tujuan Israel adalah membebaskan sandera dan menghancurkan Hamas, namun menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, maka ada dugaan kuat pelanggaran proporsionalitas.
2. Prinsip Pembedaan
Hukum perang mewajibkan pihak bertikai membedakan antara kombatan (pejuang Hamas) dan non-kombatan (warga sipil).
Serangan yang sengaja menargetkan atau tidak berupaya melindungi warga sipil bisa dianggap kejahatan perang.
3. Statuta Roma 1998
Statuta Roma mendefinisikan kejahatan perang sebagai serangan sistematis terhadap penduduk sipil.
Jika Israel secara sadar menyerang rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi dengan dalih membasmi Hamas, maka ini bisa masuk kategori genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jika Israel tidak membedakan target dengan baik dan serangannya tidak seimbang dengan tujuan militernya, maka tindakan mereka bisa dianggap melanggar hukum perang dan bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Prospek Masa Depan: Apakah Perdamaian Mungkin?
Kemungkinan Solusi:
- Solusi Dua Negara: Israel dan Palestina diakui sebagai dua negara terpisah. Namun, Israel enggan mengembalikan wilayah yang sudah didudukinya.
- Solusi Satu Negara: Semua orang (Yahudi dan Arab) hidup dalam satu negara dengan hak yang sama, tetapi Israel menolak karena ingin tetap menjadi negara Yahudi.
- Perlawanan dan Perundingan: Jika perlawanan Palestina terus meningkat dan tekanan internasional bertambah, Israel bisa dipaksa untuk bernegosiasi.
Namun, dengan situasi saat ini, perang kemungkinan akan terus berlanjut, kecuali ada intervensi kuat dari PBB dan negara-negara besar.
Situasi di Gaza semakin buruk dengan meningkatnya serangan Israel.
Tekanan internasional terhadap Israel semakin besar, tetapi Amerika Serikat tetap mendukungnya.
Demonstrasi di Israel sendiri menunjukkan ketidakpuasan warga terhadap kebijakan pemerintah mereka.
Prospek perdamaian masih sulit karena kepentingan politik dan ekonomi yang besar dalam konflik ini.
Komentar
Posting Komentar