Perubahan Konsep Ujian Nasional ke TKA

Ilustrasi Tes Kompetensi Akademik (pic; Meta AI)


Bagi generasi baru yang tidak mengalami UN, mungkin TKA tak akan jadi trauma. Tapi buat siswa yang mindset-nya masih berpikir “ujian itu menentukan segalanya”, trauma bisa tetap ada



Dulu, Ujian Nasional (UN) dianggap sebagai “momok” karena menjadi penentu kelulusan. Kalau nilainya jelek, bisa gagal lulus. Ini membuat siswa stres berat dan menjadikan ujian sebagai tekanan psikologis, bukan lagi proses belajar yang sehat. 


Sekarang, pemerintah menghapus UN dan menggantinya dengan Tes Kompetensi Akademik (TKA) yang konsepnya jauh lebih ringan.


TKA tidak lagi menentukan kelulusan, karena kelulusan siswa lebih banyak ditentukan oleh penilaian dari sekolah, termasuk portofolio, rapor, proyek, dan penilaian lainnya. TKA lebih diarahkan untuk memetakan kemampuan akademik siswa di seluruh Indonesia.



Harapan sebagai Alat Evaluasi Pemerataan Pendidikan


Nah, karena TKA lebih ke arah evaluasi dan pemetaan, ini diharapkan jadi semacam cermin kualitas pendidikan di tiap daerah. Pemerintah bisa lihat mana daerah yang pendidikannya maju, mana yang tertinggal. Ini penting banget buat perbaikan kebijakan pendidikan, terutama buat daerah-daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).


Tapi, jujur ya, evaluasi pemerataan pendidikan lewat tes tunggal kayak TKA tetap punya kelemahan. Kenapa? Karena hasil TKA itu kan dipengaruhi banyak faktor: kualitas guru, sarana prasarana sekolah, hingga kondisi sosial ekonomi siswa. Jadi, hasilnya belum tentu sepenuhnya objektif, tapi tetap bisa jadi indikator awal untuk peta pendidikan nasional.



Apakah Bisa Menghilangkan Trauma Siswa?


Kalau soal ini, jawabannya relatif. Buat generasi baru yang gak ngalamin UN, mungkin TKA gak akan jadi trauma. Tapi buat siswa yang mindset-nya masih berpikir “ujian itu menentukan segalanya”, trauma bisa tetap ada.


Jadi, menghilangkan trauma gak cuma soal ganti nama dan format, tapi juga mengubah cara pandang siswa, guru, dan orang tua tentang ujian itu sendiri. Kalau mindset-nya tetap melihat ujian sebagai ajang kompetisi ketat dan penilaian mutlak, ya trauma bisa tetap bertahan meski namanya berubah.



Kesiapan Sekolah dan Pelaksanaan TKA ke Depan


Ini juga tantangan besar. Gak semua sekolah siap, terutama di daerah-daerah yang sarana prasarana pendidikannya masih minim. TKA berbasis komputer atau online bisa jadi kendala di daerah yang infrastrukturnya buruk.


Lalu, dari sisi guru juga, mereka butuh pelatihan khusus supaya paham format soal yang baru, teknik evaluasi yang benar, sampai cara mempersiapkan siswa tanpa bikin mereka ketakutan.


Intinya, kesiapan sekolah itu sangat beragam. Sekolah di kota besar mungkin santai, tapi sekolah di pedalaman bisa keteteran. Jadi, butuh kebijakan pendampingan yang merata, bukan sekadar melempar kebijakan baru terus sekolah disuruh jalan sendiri.



Kesimpulan Singkat


- TKA bukan buat kelulusan, tapi pemetaan mutu pendidikan.


- Potensial jadi alat evaluasi pemerataan pendidikan, tapi perlu data pendukung lain.


- Menghilangkan trauma butuh perubahan mindset pendidikan di semua lini, bukan cuma ganti nama.


- Kesiapan sekolah belum seragam, perlu pendampingan ekstra.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?