TKA: Kompromi Politik Pendidikan
Ilustrasi suasana kelas seru dan ceria (pic: Meta AI)
Tes Kompetensi Akademik merupakan kompromi politik pendidikan, di mana pemerintah tetap bisa bilang “UN sudah dihapus”, tapi tetap punya alat evaluasi yang sifatnya akademik
Akar Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebenarnya bermula dari kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) yang diumumkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada tahun 2019, tepatnya tanggal 11 Desember 2019. Waktu itu Nadiem menyatakan bahwa mulai 2021, UN resmi digantikan oleh Asesmen Nasional (AN).
Tapi, nama Tes Kompetensi Akademik (TKA) baru muncul belakangan, dan konsepnya berkembang seiring waktu.
Istilah TKA ini sebenarnya mulai banyak disebut sejak tahun 2023-2024 ketika pemerintah mencari format baru untuk mengukur capaian akademik siswa setelah UN dihapus, karena Asesmen Nasional (AN) lebih fokus ke literasi, numerasi, dan survei karakter, bukan murni akademik mapel (mata pelajaran).
Ide dan Sumbernya Darimana?
Ide dasarnya muncul dari evaluasi atas UN yang dianggap hanya menguji hafalan dan bikin siswa stres. Nadiem saat itu ingin membuat evaluasi pendidikan yang lebih holistik, bukan sekedar tes hafalan. Tapi karena banyak suara dari guru dan sekolah yang mengatakan mereka tetap memerlukan tolok ukur akademik murni, lahirlah ide bikin TKA.
Jadi, TKA ini seperti bentuk kompromi antara penghapusan UN dan kebutuhan sekolah akan tes akademik berbasis mapel. Sumber gagasannya campuran:
- Masukan dari guru, sekolah, dan pemerhati pendidikan.
- Evaluasi dari hasil Asesmen Nasional.
- Konsep yang terinspirasi dari model tes di beberapa negara lain, seperti standardized test di Finlandia dan Jepang, tapi disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Kapan Tepatnya Diberitakan?
Pemberitaan soal TKA ini mulai ramai di media sekitar awal 2024, menjelang tahun ajaran baru. Banyak media pendidikan dan portal berita nasional mengangkat isu ini karena sekolah mulai mempertanyakan bentuk evaluasi akademik setelah UN dihapus.
Kemdikbud sendiri mulai membahas lebih serius soal TKA dalam beberapa forum Rapat Koordinasi Pendidikan di akhir 2023 dan awal 2024.
Puncak pemberitaan TKA itu sekitar Januari-Februari 2024, saat Kemdikbud mengeluarkan semacam draft panduan teknis soal pelaksanaan TKA untuk jenjang SMP dan SMA.
Singkatnya:
- Penghapusan UN diumumkan: 11 Desember 2019.
- Ide TKA muncul: Tahun 2023, setelah dievaluasi bahwa sekolah tetap butuh tes akademik murni.
- Diberitakan luas: Januari-Februari 2024.
- Tokoh utama di balik ide: Nadiem Makarim dan tim ahli di Kemdikbud.
Kenapa ide Nadiem masih berlanjut, padahal dia udah gak menjabat?
Ini menarik. Meskipun Nadiem udah gak di posisi menteri, kebijakan yang dia buat (terutama penghapusan UN dan peralihan ke Asesmen Nasional) itu udah masuk dokumen kebijakan jangka menengah dan panjang di Kemdikbud. Artinya, meski Nadiem pergi, aturan main yang dia tetapkan tetap jalan, kecuali kalau menteri baru total mencabut atau mengubahnya.
Nah, Abdul Mu’ti sebagai Mendikdasmen saat ini justru mewarisi kebijakan itu, termasuk mencari cara agar setelah UN dihapus, sekolah tetap punya alat ukur akademik yang relevan. Makanya TKA lahir sebagai solusi di masa transisi ini.
Jadi, Abdul Mu’ti bukan pencetus awal, tapi dia yang menjalankan dan menyempurnakan gagasan itu supaya nyambung sama kondisi terkini.
Apakah mungkin TKA benar-benar diwujudkan?
Sangat mungkin. Kenapa? Karena sekolah-sekolah udah mulai panik sejak UN dihapus. Mereka bingung, gimana cara bikin benchmark akademik yang objektif? Nah, TKA dianggap jawaban moderatnya:
Bukan penentu kelulusan (jadi gak bikin stres kayak UN).
Tetap menguji capaian akademik siswa (biar ada data pembanding antar daerah).
Selain itu, Asesmen Nasional aja gak cukup buat nilai capaian akademik spesifik per mapel. Itu cuma fokus di literasi, numerasi, dan survei karakter.
TKA punya peluang besar jadi kenyataan karena dianggap mengisi celah yang ditinggalkan UN tanpa menghidupkan trauma lama.
Kesimpulan
TKA memang warisan ide Nadiem, tetapi pelaksana dan penyempurna di level teknis adalah Abdul Mu’ti.
TKA sangat mungkin dilaksanakan, karena sekolah butuh standar akademik yang jelas, sementara trauma UN gak mau diulang.
TKA bentuk kompromi politik pendidikan, di mana pemerintah tetap bisa bilang “UN sudah dihapus”, tapi tetap punya alat evaluasi yang sifatnya akademik.
Komentar
Posting Komentar