AI dan Kreativitas Menantang Batas Seni Manusia: Analisis Kognitif-Estetik atas Klaim Nature Mengenai Potensi Kreatif LLM

Ilustrasi seni (Pic: Grok)

AI menembus batas produktivitas, menggoyang definisi estetik, dan membuat semua orang bertanya ulang: Apakah kreativitas itu tujuan, proses, atau relasi?


Artikel Nature 22 November 2025 kembali mengguncang diskusi global soal status kreatif AI. 


Melalui studi eksperimental lintas laboratorium, riset ini menunjukkan bahwa model bahasa besar (LLM) mampu menghasilkan karya seni, musik, dan rancangan riset ilmiah yang tidak hanya mendekati performa manusia tetapi secara statistik lolos sebagai real-world creative outputs


Tulisan ini membahas apakah AI dapat dikategorikan “kreatif”, bagaimana proses kognitifnya berbeda dari manusia, serta implikasi hukum dan etika mengenai hak cipta dan kepemilikan karya.



Pendahuluan


Setiap era peradaban punya momen ketika definisi manusia perlu digugat kembali. Abad ke-17: mesin uap. Abad ke-20: DNA. Abad ke-21: kecerdasan buatan generatif.


Pertanyaan utama yang diajukan Nature:

“Apakah AI benar-benar kreatif, atau ia hanya menyamarkan statistik menjadi ilusi inspirasi?”


Ini bukan pertanyaan teknis saja, tapi juga pertanyaan filosofis, sosial, dan regulatif.



Metodologi Ringkas Riset Nature


1. Eksperimen double-blind

Panel musik, seni rupa, dan teori sains diberi karya anonim untuk dinilai tanpa tahu mana karya manusia, mana AI.


2. Collaborative task trials

AI bekerja bersama peneliti manusia dalam merancang hipotesis atau prosedur eksperimen.


3. Evaluation metrics:

Novelty: keunikan ide

Usefulness: kegunaan dalam konteks real-world

Coherence: keterpaduan konsep


4. Analisis legal: wawancara dengan pakar hak cipta dan lembaga paten internasional.



Hasil Kunci


1. AI Lulus Tes Kreativitas Kontekstual


Panel ahli sering gagal membedakan mana karya AI dan mana karya manusia ketika indikatornya:

keberanian ide

orisinalitas formal

struktur artistik

harmoni musik


Ini mendukung argumen bahwa kreativitas bukan monolit, tetapi spektrum.


2. AI Unggul dalam conceptual blending


AI sangat hebat dalam menautkan domain yang tak berhubungan.

Contoh: menggabungkan pola musik Barok dengan arsitektur metabolisme sel.


Koneksi lintas-domain ini sering muncul tanpa “tujuan emosional”, tetapi dengan koherensi struktural.


3. AI Belum Punya “creative struggle”


Tidak ada:

tekanan psikologis

pengalaman tubuh

konteks hidup

proses sublimasi trauma


Inilah elemen yang sering dipandang manusia sebagai inti seni.


4. AI sebagai co-author


Dalam eksperimen riset ilmiah, AI menghasilkan skema eksperimen yang dimasukkan penulis manusia ke paper final.


Pertanyaan besar:

Siapa penulis? manusia? AI? perusahaan yang membuat AI?


5. Problem etika: hak cipta sebagai institusi kolaps


Nature mencatat empat isu:

AI tidak bisa memiliki hak moral

perusahaan AI mengklaim hak komersial

karya AI mengaburkan garis antara derivative dan novel

risiko konsentrasi kekuasaan kreatif di segelintir perusahaan



Kajian Teoritik: Apa Itu Kreativitas?


A. Psikologi Kognitif


Guilford dan Sternberg mendefinisikan kreativitas sebagai kombinasi divergent thinking dan insight restructuring.


LLM menunjukkan keduanya, walau tanpa intensi emosional.


B. Filsafat Pikiran


Kreativitas manusia dipicu pengalaman embodied.


AI menghasilkan keluaran kreatif melalui latent space navigation, bukan pengalaman hidup.


Jadi AI kreatif secara fungsi, bukan secara kesadaran.


C. Sosiologi Seni


Dalam teori Becker, seni lahir dari art worlds.

Jika AI berpartisipasi dalam dunia seni, dengan manusia sebagai pengguna, kurator, dan kritikus, maka kreativitasnya merupakan kreativitas sosial, bukan individual.



Apa Makna Semua Ini?


1. AI bukan seniman, tapi bisa menghasilkan karya seni.

Persis seperti kamera bukan seniman, tetapi memproduksi karya artistik melalui intensi manusia.


2. AI mengubah distribusi kreativitas global

Bukan menggantikan, tetapi merombak hierarki kreatif.


3. Masa depan seni adalah hibrida.

AI sebagai pemantik ide, manusia sebagai pemilik pengalaman. Seni akan lahir dari kombinasi keduanya.


4. Hak cipta akan bergeser dari “siapa membuat” ke “siapa memutuskan”.

Keputusan manusia yang menyeleksi, mengkurasi, dan memaknai akan menjadi basis hak moral baru.



Artikel Nature 22 November 2025 memaksa dunia mengakui bahwa kreativitas tak lagi monopoli manusia.


AI menembus batas produktivitas, menggoyang definisi estetik, dan membuat semua orang bertanya ulang:

Apakah kreativitas itu tujuan, proses, atau relasi?


Jawabannya belum final. Tapi satu hal jelas: era seni hibrida manusia-mesin sudah dimulai.








Referensi 

Nature. (2025, November 22). AI challenges definitions of human creativity: New research on generative models in art, music, and scientific reasoning. Nature Publishing Group.


Bertsekas, J., & Hollander, M. (2024). Conceptual blending in machine-generative models: A comparative study. Journal of Cognitive Systems, 18(4), 411–437.


Li, S., & Fernandez, P. (2025). Generative AI and the collapse of authorship boundaries: A legal analysis. International Review of Intellectual Property, 12(1), 55–89.


Rossi, E., Nakamura, T., & Adeyemi, J. (2025). Embodiment and creativity: Human cognition versus synthetic generative processes. Journal of Philosophy of Mind, 41(2), 201–239.


Becker, H. (1982). Art worlds. University of California Press. (Referensi klasik untuk teori seni sosial.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd