CERPEN: Seandainya Itu Aku
![]() |
| Seandainya Itu Aku (Pic: Grok) |
Aku menemukan satu hal yang lebih penting dari cinta: diri yang akhirnya pulang
Dulu, aku mencintainya sampai tak tersisa ruang di dadaku untuk hal lain.
Dia datang tanpa aba-aba, tanpa janji, tapi entah kenapa seluruh hidupku tiba-tiba merasa punya arah.
Setiap pagi terasa punya alasan, setiap malam jadi perpanjangan dari pikiranku tentang dia.
Aku menulis, tertawa, bernafas — semua dengan bayangannya di antara sela-sela napas.
Waktu itu, aku pikir cinta memang begitu: memberi sampai tak bersisa, mencurahkan diri tanpa batas, rela menukar tenang demi kebersamaan yang hangat.
Aku mencintainya bukan karena siapa dia, tapi karena diriku terasa lengkap saat bersamanya.
Dan mungkin di situlah kesalahannya mulai tumbuh — ketika cinta berubah jadi penghapusan diri.
Hari-hari berlalu, dan perlahan warna itu pudar.
Bukan karena sesuatu yang besar, tapi karena hal-hal kecil yang tak terucap: diam yang terlalu panjang, kata yang jadi dingin, perhatian yang terasa formal.
Sampai akhirnya, aku sadar — aku tak lagi mencintainya dengan cara yang sama.
Bukan karena aku berhenti, tapi karena aku lelah menjadi satu-satunya yang masih menyalakan api di ruang yang sudah dingin.
Kini aku hanya duduk, menatap bayanganku sendiri di jendela yang buram.
Aku tak lagi menangis, tapi juga tak bisa tertawa.
Hambar. Itu kata yang paling tepat. Seolah semua rasa telah menguap, meninggalkan tubuh ini kosong, tapi masih berdiri.
Aku mulai bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku benar-benar hidup?
Kapan terakhir kali aku tertawa tanpa beban, atau mencintai tanpa takut kehilangan?
Dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah, perlahan aku mulai menemukan sesuatu yang kupikir sudah hilang: diriku sendiri.
Mungkin aku tak benar-benar mati rasa — aku hanya sedang beristirahat dari pertempuran panjang yang disebut cinta.
Aku pernah menaruh seluruh hidupku di tangan seseorang, dan sekarang aku belajar menaruhnya kembali ke dalam genggamanku sendiri.
Mungkin cinta itu masih ada, tapi bentuknya telah berubah. Tak lagi bergantung, tak lagi membakar.
Kini ia lebih tenang, lebih lembut, seperti cahaya senja yang jatuh di permukaan air.
Dan jika suatu hari aku bertemu dia lagi, aku tak akan menatapnya dengan luka, tapi dengan syukur.
Karena lewat kehilangan itu, aku menemukan satu hal yang lebih penting dari cinta: diri yang akhirnya pulang.

Komentar
Posting Komentar