Ketika Indonesia Dihukum karena Nurani: Analisis Politik Moral IOC di Era Genosida Modern

 

Ilustrasi Indonesia, Nurani, dan Olimpiade (Pic: Grok)

“Di dunia di mana penjajah bisa berlari membawa obor perdamaian, barangkali api Olimpiade itu seharusnya padam dulu—biar nurani manusia bisa menyala lagi.”


Kajian ini menelanjangi paradoks moral lembaga olahraga internasional, khususnya International Olympic Committee (IOC), yang kerap memuja “netralitas politik” namun tunduk pada logika geopolitik dan tekanan negara-negara kuat. 


Kasus pengecualian terhadap Indonesia karena menolak kehadiran atlet Israel, berbanding terbalik dengan sanksi berat terhadap Rusia pascainvasi Ukraina. 


Tulisan ini menyoroti bahwa “sportivitas global” ternyata tidak lebih dari eufemisme bagi selektivitas moral dunia: keras terhadap musuh Barat, lunak terhadap sekutunya.



Pendahuluan


Olimpiade, konon, diciptakan sebagai perayaan kemanusiaan dan perdamaian lintas bangsa. Tapi di dunia nyata, ajang ini sering menjadi alat diplomasi, hegemoni, dan validasi moral. 


Ketika Indonesia dinilai tak pantas menggelar Olimpiade karena menolak partisipasi Israel—negara yang sedang diselidiki Mahkamah Internasional atas dugaan genosida—pertanyaannya bukan lagi soal etika olahraga, tapi siapa yang berhak mendefinisikan etika itu.


IOC bersikeras mengklaim dirinya “apolitis,” tapi sejarah membantahnya: dari boikot Olimpiade Moskow 1980, hingga sanksi terhadap Rusia 2022, lembaga ini selalu mengambil sikap politik—asal arah anginnya sesuai kepentingan Barat.



Metodologi


Pendekatan analisis kritis digunakan, dengan membedah relasi antara kekuasaan geopolitik, kebijakan olahraga global, dan mekanisme legitimasi moral. 


Data bersumber dari laporan IOC, publikasi media internasional, serta dokumen diplomatik PBB dan ICJ (International Court of Justice).



Kajian Teoritik


1. Sportwashing dan Moral Selektif


Dalam teori soft power (Nye, 2004), olahraga menjadi medium pencitraan global. 


Israel menggunakan arena olahraga untuk membangun citra “negara normal,” meski di saat bersamaan menghancurkan rumah sakit dan kamp pengungsi. 


IOC, alih-alih bersikap independen, justru menjadi sponsor diam dari politik pencitraan ini.


2. Kolonialisme Moral dan “White Immunity”


Dunia masih hidup di bawah bayang-bayang rasionalitas kolonial. 


Kekerasan yang dilakukan oleh negara sekutu Barat dianggap “pertahanan diri,” sedangkan perlawanan negara dunia ketiga dicap “terorisme.” 


Inilah logika ganda yang membenarkan penghukuman Rusia tetapi menormalisasi kejahatan Israel.


3. Netralitas yang Beracun


IOC mengklaim “tidak berpihak,” namun sikap diam terhadap genosida berarti partisipasi dalam penindasan. 


Netralitas di tengah kejahatan kemanusiaan bukanlah posisi etis, melainkan bentuk kolusi pasif.



Analisis


Indonesia tidak menolak semangat Olimpiade, tetapi menolak kemunafikan global. 


Ketika negara yang mengumandangkan perdamaian justru memfasilitasi pelaku kejahatan perang, maka boikot moral menjadi bentuk sportivitas yang lebih tinggi.


Sementara itu, keputusan IOC justru memperlihatkan ketakutan terhadap kekuatan politik dan ekonomi Israel serta sekutunya di Washington. 


Seperti halnya Dewan Keamanan PBB yang lumpuh karena veto AS, IOC kini menjadi panggung politik di mana kebebasan bangsa-bangsa kecil dikorbankan demi stabilitas citra Barat.



Larangan terhadap Indonesia menggelar Olimpiade bukan soal prosedur, tapi soal keberanian moral. 


Dunia yang menolak menegur Israel sedang menulis bab baru sejarah kemunafikan internasional: sebuah dunia yang menilai darah Palestina lebih murah daripada medali emas.


Olimpiade seharusnya merayakan kemanusiaan, bukan mensterilkan nurani. 


Dan ketika “netralitas” dijadikan dalih untuk mendiamkan genosida, maka sejarah akan mencatat IOC bukan sebagai penjaga sportivitas, tapi sebagai kolaborator kekuasaan.








Referensi

1. International Olympic Committee. (2025). Statement on Global Participation and Political Neutrality.Lausanne: IOC Archives.

2. United Nations Human Rights Council (2025). Special Rapporteur Report on the Situation in the Occupied Palestinian Territories.

3. B’Tselem. (2024). The Occupation’s Other Front: Israeli Sports Diplomacy and Moral Laundering.

4. Nye, J. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. PublicAffairs.

5. Al Jazeera. (2025, October). Indonesia Sanctioned by IOC over Israel Ban: Double Standards in Global Sports Governance.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd