Ingin Investasi Mata Uang Kripto? Pahami Risikonya!

Illustrasi mata uang kripto (pic: independent.co.uk)


Nilai mata uang kripto melambung berdasar supply dan demand namun tidak memiliki underlying asset seperti jenis investasi lainnya



Lega, itu yang dirasakan saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menghijau, apalagi jika saham-saham yang dimiliki profit taking, makin sumringah dunia ini,berseri-seri, Itu kalau menghijau, tapi bagaimana bila saham-saham yang dimiliki memerah, masih bersyukur bila stagnan, kalau malah merosot terus? Yang tadinya blue chip, mendadak harganya tidak beda jauh dari yang IPO, nah lho! saat itulah dunia terasa cenat-cenut, kepala pusing tiada tara.


Sebagai investasi masa depan, memang saham sangat menjanjikan, meskipun resikonya tinggi, karena hampir tidak ada instrumen investasi yang risk free, namun tak sebesar resiko bila kita memilih investasi mata uang cripto. Hal tersebut karena saham memiliki aset, diperdagangkan, serta ada underlying asset dari aktivitas perusahaan, sedangkan cryptocurrency memang  hasilnya luar biasa gedhe-gedhean saat harga melambung, namun jangan lupa juga resikonya bila harga turun yang membuat buntung dan patah hati.



BI:  Bukan alat pembayaran sah


Bank Indonesia (BI) berulangkali menegaskan, bahwa mata uang kripto (cryptocurrency) bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia, berarti virtual currency  dilarang digunakan di Indonesia, sebab hanya rupiah satu-satunya yang diakui demi kedaulatan negara.


Bahkan yang lebih ngeri lagi, sebagaimana dikutip dari Investor Daily, bank sentral menilai, tidak ada urgensi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang demi mengakomodasi penggunaan mata uang kripto, Widiiiiih?!?


Hal itu berarti resiko tanggung sendiri, bila untung keruk sendiri, tapi bila rugi buntung sendiri, tidak ada jaminan kerugian dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana bila terjadi resiko pada investasi keuangan lainnya di Indonesia.


Alasan krusialnya adalah karena mata uang kripto memiliki banyak risiko sebab nilainya terus berfluktuasi, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alat pembayaran. Apalagi penggunaan alat pembayaran mata uang selain rupiah di Indonesia dapat diancam pidana.


Bukan rahasia umum lagi bila nilai mata uang kripto melambung berdasar supply dan demand, namun sayangnya tidak memiliki underlying asset seperti jenis investasi lainnya.



OJK: Berpotensi merugikan konsumen


Dilansir dari Investor Daily, Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L Tobing menyatakan tingginya resiko mata uang kripto, yakni tidak memiliki keamanan karena harga yang fluktuatif sehingga berpotensi merugikan konsumen secara signifikan, tidak memiliki regulator yang mengawasi, dan tidak memiliki kepastian hukum.


Apalagi virtual currency tidak memiliki data nasabah dan data base, akibatnya rawan digu- nakan untuk money laundering. Padahal hal tersebut jelas-jelas dikarang OJK dalam POJK 12/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di SJK.



Bukan efek


Bila kita mencermati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 sebagaimana dikutip dalam Investor daily tentang Pasar Modal, mata uang kripto bukan efek, sebab efek terkait surat berharga yakni surat pengakuan utang surat berharga komersial, saham, obligasi, dan lainnya.


Sedangkan peraturan POJK 18/2016 mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum, bahwa perbankan harus menyiapkan manajemen risiko pada setiap produk dan kegiatan usaha bank, sementara virtual currency justru memiliki unsur spekulasi yang sangat tinggi.



Meskipun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dalam waktu dekat akan segera mengesahkan pendirian bursa kripto, namun prinsip kehati-hatian berinvestasi wajib kita terapkan, sebab cryptocurrency merupakan underlying asset (aset dasar) tidak jelas dengan aspek spekulatif dan risiko sangat tinggi. 


Sebagai salah satu contoh mata uang kripto, Bitcoin, memiliki kapitalisasi pasar (market capitalization) di atas US$ 1 triliun setelah lonjakan harga yang dialami pada tahun ini, hingga sempat menyentuh level US$ 58.858, dengan total kapitalisasi pasar pertama terbesar dalam sejarah yakni menembus US$ 2 triliun dolar AS.






Comments