Kebangkitan Nasional Melawan Penjajahan Era 4.0

Illustrasi bendera merah putih (pic: id.pinterest.com)


Penjajahan saat ini berasal dari beragam kebudayaan berbagai belahan dunia yang bersifat negatif, jika bangsa kita tidak mampu menyikapinya secara cerdas spiritual, intelektual, dan emosi, maka terwujudlah penjajahan itu, secara lahir terlihat merdeka, namun batinnya terjajah



Menyikapi kebangkitan di era 4.0 ini pastilah berbeda dengan era kebangkitan saat Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, namun semangatnya tetaplah sama, bahkan harus lebih luar biasa lagi.


Jika di era Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, generasi saat itu melawan oenjajahan Belanda yang mengakar di bumi Indonesia, maka untuk saat ini sebetulnya tidak beda jauh, melawan penjajahan juga, namun secara kasat mata, dengan musuh lebih banyak serta beragam, segala macam kejahatan dari seluruh belahan dunia, karena itu perlawanannya harus melalui cara lebih modern plus canggih, melakukan perang tapi sudah bukan perang fisik lagi, namun perang kasat mata mellaui kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosi.



Anggapan peradaban barat sebagai simbol keberadaban


Sudah bukan rahasia lagi bila dunia barat selalu dianggap sebagai kiblat kehidupan modern, maklumlah mereka selama puluhan abad menjajah dan menguasai dunia, akibatnya apapun yang mereka bawa dan tularkan seakan sebuah simbol bahwa kehidupan beradab.


Memang ada sebagian contoh peradaban barat sebagai simbol keberadaban yang oastinya tidak salah untuk dijadikan panutan, misalnya etika mereka saat makan. Dianggap tidak beretika bila saat makan berdecak keras dengan mulut terbuka, apalagi sampai bersendawa keras. 


Pengenalan mereka terhadap peralatan makan, bukan hal yang salah bila kita memahami dan menirunya, itung-itung sebagai tambahan pengetahuan saat perjamuan makan internasional.


Hal lain adalah cara mereka berpakaian, sangat terkesan elegan dan modern, namun tetaplah cerdas mencermatnya dengan menyesuaikan dengan budaya timur kita, sebab jika tidak maka bisa terjadi hal salah kaprah sat menghadiri kondangan dengan swim suit ketat seperti saat di kolam renang.


Hal lain yang harus menjadi sebuah pemikiran kita semua adalah budaya mereka untuk bebas mengekspresikan kebebasan seksualnya, hingga melahirkan pergaulan bebas antara lawan jenis ataupun sesama jenis, jadi untuk apa sebuah pernikahan jika tanpa acara sakral itu pun, nafsu telah terpenuhi? Pernikahan hanyalah sebuah simbol, hukum Tuhan seakan dipermainkan, sebab peraturan dan larangan-Nya diinjak-injak, diabaikan, dan kisah Nabi Luth di kitab sucipun hanya dianggap dongeng semata demi pelampiasan hawa nafsu yang tiada habisnya.


Sebagai sebagai bangsa yang berbudaya ketimuran, pastilah kita harus berani bangkit melawan penjajahan hawa nafsu itu dengan kecerdasan spiritual dan emosi, siapkah Anda bangkit?



Kebebasan berpendapat dan HAM


Kebebasan berpendapat dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan contoh penularan budaya barat yang memiliki nilai positif, keharusan menghargai pendapat orang lain merupakan sebuah kewajiban, namun janganlah hal tersebut menjadikan si pemilik kebebasan berpendapat menjadi kebablasan, hingga seenaknya membenarkan pendapat sendiri dengan mengabakan penghormatan terhadap pendapat orang lain, sebab selain berkiblat dari kebebasan demokratis barat, jangan lupa kita juga memiliki budaya khas bangsa yaitu musyawarah untuk mufakat.


Jika etika dan budaya asli Indonesia ini terlupakan, maka jangan heran bila yang akan terjadi adalah pemaksaan pendapat, ngeyel, hingga gontok-gontokan, hingga berujung terjadinya perkelahian massal alias tawuran.


Kita harus cerdas menyikapi semua itu jika menginginkan bangsa ini bangkit dan tidak terjajah oleh keegoisan pribadi, sebab bila kita amati "tawuran" bukan hanya didominasi pria dewasa, bahkan generasi muda menjadikannya trend karena mencontoh perilaku negatif dari generasi yang lebih tua. Kenapa hal itu bisa terjadi? semua bersumber dari keegoisan pemaksaan pendapat, yang awal mulanya kecil, lama-lama membesar, hingga kemudian meledak menjadi perkelahian massal. Seandainya semua pihak bisa membentengi diri dengan kecerdasan spiritual dan emosi, beserta budaya ketimurannya tentulah hal tersebut tidak akan terjadi.


Banyak sekali ragam macam penjajahan model baru, selain kebudayaan barat yang  menawarkan hal-hal baru yang menjanjikan kemapanan hidup, namun sayangnya terkadang disikapi dengan melupakan norma agama, yang berakibat terabaikannya nilai-nilai agama demi sebuah ambisi hedonisme. 



Kebangkitan sikap bijak era 4.0


Globalisasi dan era 4.0 hendaklah disikapi dengan bijak, menyerap kecanggihan tekhnologi dengan mencerdaskan bangsa sendiri, memaksimalkan tenaga bangsa kita sendiri, apalah artinya kita menerima investasi besar-besaran dari negara luar, sementara investor asing mendirikan perusahaan di bumi pertiwi, namun dengan seenak udhelnya mengangkut tenaga kerja negaranya sendiri, sementara tenaga kerja kita menganggur karena hanya menjadi penonton di negerinya sendiri. 


Bukankah sebuah investasi akal-akalan bila selain menanamkan modal, namun juga membawa tenaga kerja sendiri,  memakai aturan sendiri, semcam paket hemat demi keuntungan yang luar. biasa. Akibatnya tanah air ini hanya sekedar untuk numpang kerja, numpang makan, numpang mandi, dan numpang buang kotoran. Terkesan mereka hanya menyewa negara untuk menjalankan perusahaan.



Penjajahan hedonisme


Jika sebuah keinginan hidup mapan dibalut hedonisme tingkat tinggi, maka terjadilah penghalalan sgala cara, bekerja apapun yang penting jadi duit. Sehingga tidak mengherankan bila ada sebagian bangsa kita yang terjebak dalam bisnis narkoba, prostitusi, menyandera sebuah kepentingan demi mencapai keinginan melalui spyware, menghack dengan imbalan sejumlah uang, korupsi, dan berbagai perilaku lain yang sebetulnya bukan berasal dari budaya bangsa kita, tapi akibat meniru dari kebudayaan lain.


Penjajahan saat ini berasal dari beragam kebudayaan berbagai belahan dunia yang bersifat negatif, jika bangsa kita tidak mampu menyikapinya secara cerdas spiritual, intelektual, dan emosi, maka terwujudlah penjajahan itu. Mungkin secara lahir terlihat merdeka, namun batinnya mengalami penjajahan.




Di hari kebangkitan nasional kali ini, janganlah hanya diperingati sebagai sebuah seremonial semata, hal yang biasa terjadi setiap tahun tanpa makna apa-apa, hanya sekedar teori dengan selfie senyum manis dan slogan anti penjajahan, hendaklah dalam kenyataannya betul-betul bangkit lahir batin dan jiwa raganya.


Masihkah kita terjajah saat ini? Mari memulai pengamatan dari diri kita sendiri.

Comments