Genosida Berbasis Agama: Selektivitas Moral Donald Trump dalam Krisis Gaza 2025

 

Ilustrasi krisis Gaza (Pic: Meta AI)

Keterlambatan Donald Trump dalam mengecam genosida Gaza, yang baru muncul setelah gereja Kristen dibom, menunjukkan bias agama yang sistemik dalam geopolitik global


Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menelan puluhan ribu korban jiwa, dengan dominasi korban berasal dari komunitas Muslim Palestina. 


Namun, respons dari pemimpin-pemimpin global, termasuk Donald Trump, menunjukkan pola reaksi yang selektif. 


Tulisan ini menelaah secara kritis keterlambatan Donald Trump dalam mengecam kekerasan di Gaza, dan bagaimana kecamannya baru muncul setelah pemboman terhadap gereja Kristen Ortodoks di Gaza. 


Pendekatan ini menunjukkan adanya bias agama yang sistemik, yang memperlambat solidaritas global terhadap korban Muslim dan mempercepat reaksi saat korban berasal dari komunitas Kristen. 


Studi ini memanfaatkan teori-teori pascakolonial, islamofobia, dan politik identitas dalam menganalisis dinamika tersebut.



Pendahuluan


Sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza pasca Oktober 2023, lebih dari 58.000 warga Palestina terbunuh, termasuk perempuan dan anak-anak. 


Ratusan masjid hancur, rumah sakit dibom, dan wilayah Gaza nyaris luluh lantak. Namun, perhatian besar dari tokoh konservatif Amerika seperti Donald Trump baru mencuat saat gereja Ortodoks Saint Porphyrius hancur pada Juli 2025.


Pertanyaan yang muncul:

Apakah krisis ini hanya menjadi penting jika menyentuh simbol-simbol Kristen?

Apakah ini pertanda bahwa bukan hanya etnis Palestina yang dilenyapkan, tapi juga agama Islam yang disingkirkan secara sistematis?



Kerangka Teoritis


1. Pascakolonialisme (Edward Said)


Wacana Barat menempatkan “Muslim” sebagai the other—terbelakang, fanatik, dan tidak pantas dibela.


2. Islamofobia Struktural (Naber, 2012)


Reaksi lambat terhadap korban Muslim sering kali disebabkan oleh struktur global yang membingkai Islam sebagai musuh publik.


3. Politik Identitas dan Solidaritas Selektif


Solidaritas muncul hanya jika korban berasal dari kelompok yang diasosiasikan dengan “kami”—dalam hal ini, Kristen.



Analisis Data


A. Reaksi Donald Trump


Tidak ada pernyataan resmi yang mengutuk pemboman masjid Al-Omari, rumah sakit Al-Ahli, atau tewasnya ribuan anak Palestina.


Namun, setelah gereja Saint Porphyrius dibom, Trump mengunggah kecaman di platform sosial medianya.


“Menyerang gereja kuno seperti Saint Porphyrius adalah tindakan keji dan sangat memalukan.” (Trump, 19 Juli 2025)


B. Kontras Reaksi Dunia


Negara-negara Barat bereaksi cepat terhadap pemboman gereja. Sebelumnya: diam, atau bahkan membela “hak Israel untuk membela diri”.


C. Dampak Simbolik


Gereja menjadi titik pemicu empati. Masjid, sekolah, atau rumah warga Palestina—tidak.



Pembacaan Kritis


Genosida di Gaza bukan hanya berbasis etnis, tapi juga berbasis agama, dengan Islam sebagai target simbolik.


Trump dan politisi konservatif AS adalah contoh selective moral outrage:

Ketika umat Kristen jadi korban, reaksi cepat.

Ketika umat Islam jadi korban? Hening, atau pembelaan terhadap pelaku.

Bahkan solidaritas kemanusiaan pun kini dikendalikan oleh identitas keagamaan.



Keterlambatan Donald Trump dalam mengecam genosida Gaza, yang baru muncul setelah gereja Kristen dibom, menunjukkan bias agama yang sistemik dalam geopolitik global. 


Hal ini memperkuat tesis bahwa genosida di Gaza merupakan gabungan dari kekerasan etnis dan pembersihan berbasis agama. 


Islamofobia bukan sekadar opini publik, tapi telah meresap ke dalam sikap diam para elite dunia, termasuk mereka yang mengklaim menjunjung nilai kemanusiaan.









Referensi

  • Naber, N. (2012). Arab America: Gender, Cultural Politics, and Activism. NYU Press.
  • Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
  • Human Rights Watch. (2025). Gaza War Crimes Documentation Report.
  • Trump, D. (2025, July 19). Truth Social Post.
  • Al Jazeera. (2025). St Porphyrius Church Bombing Coverage.
  • Guardian. (2024). The Bombing of Gaza’s Mosques: A Timeline.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd