Rekonstruksi Demokrasi Lokal di Indonesia: Telaah Kritis Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024
![]() |
| Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (Pic: Meta AI) |
Demokrasi sejati menuntut lebih dari sekadar stabilitas — ia menuntut partisipasi, transparansi, dan keberanian untuk tunduk pada suara rakyat
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 menguji konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut:
• Masa jabatan kepala daerah & anggota DPRD
• Mekanisme perpanjangan jabatan tanpa pemilu langsung
• Pengaturan transisi menuju Pemilu Serentak 2029
Pemohon (beberapa kepala daerah & anggota DPRD aktif) meminta agar masa jabatan mereka bisa diperpanjang jika pemilu serentak belum diselenggarakan, tanpa perlu penunjukan penjabat.
Isi Pokok Putusan MK
1. MK Menyatakan Konstitusional Bersyarat bahwa: “Perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD boleh dilakukan tanpa pemilu, jika secara teknis, politik, dan hukum tidak memungkinkan pelaksanaan pemilu tepat waktu.”
2. Tidak bertentangan dengan UUD 1945, selama:
• Pemerintah & KPU transparan soal alasan penundaan.
• Masa perpanjangan bukan untuk kepentingan politik individu.
Implikasi Hukum & Demokrasi
A. Legal Standing dan Rasionalitas Putusan
MK menimbang kepentingan stabilitas politik & kesinambungan pemerintahan lokal. Namun, ini membuka grey area: Apakah demokrasi tetap substantif jika masa jabatan diperpanjang tanpa mandat rakyat?
B. Potensi Erosi Legitimasi Elektoral
Kepala daerah dan DPRD yang diperpanjang tanpa pemilu akan kehilangan legitimasi langsung dari rakyat.
Ini berisiko melahirkan “pejabat administratif”, bukan “wakil rakyat” sejati.
C. Ancaman Politisasi Penundaan Pemilu
Bila perpanjangan dibolehkan dengan alasan teknis/politik, maka elite lokal berpotensi manipulatif:
• “Mengulur-ulur” proses pemilu.
• Membuat krisis buatan demi memperpanjang masa jabatan.
🔍 Analisis Kritis: Dilema Antara Efisiensi dan Akuntabilitas
Aspek | Pro Putusan MK | Kontra Putusan MK |
Stabilitas | Menjaga kesinambungan pemerintahan | Bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik |
Efisiensi Pemilu | Memungkinkan konsolidasi teknis | Mengabaikan kedaulatan rakyat |
Konstitusi | Dianggap konstitusional bersyarat | Berpotensi membajak semangat demokrasi langsung |
Putusan MK ini berada di tengah dilema besar: antara menjaga efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan memastikan akuntabilitas demokratis.
Dari sisi efisiensi, perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu dianggap mampu menjamin stabilitas birokrasi serta memberi waktu konsolidasi teknis bagi penyelenggara pemilu.
Namun, dari sisi akuntabilitas, keputusan ini justru rawan mengabaikan kedaulatan rakyat karena memperpanjang kekuasaan tanpa mandat elektoral.
Dalam kondisi seperti itu, kekuasaan lokal berpotensi tak lagi mewakili suara publik, melainkan hanya menjadi perpanjangan administratif tanpa dasar legitimasi langsung.
Di sinilah letak ketegangan utama: apakah stabilitas bisa dibenarkan jika harus mengorbankan prinsip dasar demokrasi?
Rekomendasi Akademik & Praktis
1. Rancang Prosedur Transparan:
• Perlu indikator objektif kapan pemilu bisa ditunda.
• Termasuk batas waktu maksimal perpanjangan.
2. Batasi Celah Penyalahgunaan:
• Evaluasi periodik oleh DPR dan lembaga independen.
• Keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan.
3. Pendidikan Politik Publik:
• Sosialisasi soal hak rakyat memilih secara langsung harus digalakkan.
• Dorong partisipasi politik berbasis kesadaran kritis.
Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 adalah refleksi ketegangan antara realitas teknis pemilu dan ideal demokrasi partisipatif.
Meski bertujuan menjaga stabilitas, perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu langsung menciptakan preseden yang berbahaya bagi legitimasi kekuasaan lokal.
Demokrasi sejati menuntut lebih dari sekadar stabilitas— menuntut partisipasi, transparansi, dan keberanian untuk tunduk pada suara rakyat.
Referensi
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 terhadap UUD NRI 1945. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. https://www.mkri.id
- Nurhasim, M. (2020). Demokrasi Lokal: Dinamika dan Tantangan di Era Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.
- Syaukani, I., Thohari, A. A., & Rachmad, A. (2007). Format Penataan Kekuasaan Kehakiman dan MK dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
- Hidayat, S. (2023). Rekonstruksi sistem pemilihan kepala daerah dalam perspektif hukum tata negara. Jurnal Konstitusi, 20(4), 553–574. https://doi.org/10.31078/jk2044
- Indrayana, D. (2022). Negara Hukum dan Demokrasi Konstitusional: Kajian Teoritis dan Praktis Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
- Widodo, D. (2021). Otonomi daerah dan pelembagaan demokrasi lokal di Indonesia. Journal of Political Research, 18(2), 133–149. https://doi.org/10.22146/jpr.2021.18.2.133
- Kompas.com. (2024, Juni 20). MK Kabulkan Gugatan soal Pemilihan Kepala Daerah Serentak oleh DPRD. https://nasional.kompas.com/read/2024/06/20/13500001/

Komentar
Posting Komentar