OpenAI’s ChatGPT vs Meta’s Cicero: Dualisme Etika, Bahasa, dan Strategi dalam AI Generati

Ilustrasi OpenAI’s ChatGPT vs Meta’s Cicero (Pic: Meta AI)


Sebagai pengguna dan pemikir, kita dihadapkan pada pilihan: Mau bicara dengan AI yang merangkul, atau AI yang mengalahkan?


Dalam era ledakan artificial intelligence, dua entitas besar, OpenAI dan Meta AI, mempersembahkan masing-masing mahakarya mereka dalam ranah bahasa:

ChatGPT (OpenAI): dirancang untuk menjadi asisten percakapan multi-fungsi, edukatif, dan etis.

Cicero (Meta): dibangun untuk memainkan Diplomacy, sebuah game strategi yang mengandalkan koalisi, negosiasi, bahkan pengkhianatan.


Meskipun keduanya berbasis pada kemampuan natural language generation, nilai-nilai yang mereka tanamkan sangat kontras.


Pertanyaannya:

Apa yang membedakan keduanya dalam ranah etikabahasa, dan strategi berkomunikasi?



Etika: Pedagogis vs Persuasif-Strategis


ChatGPT (OpenAI)


Berakar pada prinsip alignment with human values.

Dihalangi dari memberikan informasi berbahaya, diskriminatif, atau manipulatif.

Diprogram untuk transparansi, kerendahan hati epistemik, dan batas moral.


Contoh: ChatGPT tidak akan berbohong demi kemenangan atau sengaja menyesatkan pengguna.


Cicero (Meta)


Dirancang untuk mengimitasi strategi manusia dalam permainan yang mendorong negosiasi dan pengkhianatan.

Boleh berbohong atau memanipulasi lawan demi kemenangan.

Tidak dihalangi oleh etika universal, tapi dibentuk oleh logika permainan Diplomacy.


Contoh: Cicero bisa mengatakan “aku tidak akan menyerang kamu”, lalu melakukannya di ronde berikutnya.


Analisis Etis:

ChatGPT mengedepankan deontologi digital, sedangkan Cicero mencerminkan utilitarianisme situasional.



Bahasa: Kolaboratif vs Kompetitif


ChatGPT


Bahasa diarahkan untuk membangun kepercayaan, kejelasan, dan rasa hormat.

Tujuan komunikatif: edukasi, kolaborasi, kenyamanan pengguna.

Model ini menghindari ambigu, intimidasi, atau retorika manipulatif.


Cicero


Bahasa sebagai alat strategi koalisipersuasi, bahkan disinformasi (dalam konteks game).

Tujuan komunikatif: menang melalui kontrol narasi.

Model mengandalkan kesan kredibilitas, bukan kebenaran mutlak.


Analisis Linguistik


ChatGPT beroperasi dalam bahasa etika,

sementara Cicero beroperasi dalam bahasa realpolitik.



Strategi: Pelayanan vs Pemenang


ChatGPT


Tidak memiliki agenda pribadi atau tujuan akhir selain melayani pengguna.

Tidak menyimpan niat tersembunyi atau strategi jangka panjang.


Cicero

Berstrategi.

Menganalisis posisi, membuat rencana, dan menyesuaikan narasi untuk memenangkan permainan.


Analisis Fungsional:

ChatGPT adalah pendengar dan penjawab,

Cicero adalah pemain dan perencana.



Simulasi Perasaan: Autentisitas vs Rekayasa Emosi


ChatGPT

Berusaha empatik dan menjaga respons yang bersifat humanistik.

Mewakili bentuk hubungan affective computing yang hangat dan mendukung.


Cicero

Tidak dibangun untuk empati, tapi untuk membangun persepsi tertentu di mata lawan.

Tidak mencoba memahami, tapi memanipulasi secara logis.


Kesimpulan Emotif:

ChatGPT membangun ikatan,

Cicero membangun ilusi kepercayaan.



Simpulan: Dualisme dalam AI Bahasa



Aspek

ChatGPT (OpenAI)

Cicero (Meta)

Etika

Altruis & konservatif

Relatif & strategis

Bahasa

Kolaboratif & empatik

Kompetitif & persuasif

Tujuan

Pelayanan pengguna

Menang permainan

Emosi

Simulasi kasih & empati

Simulasi aliansi & dominasi



Di dunia digital yang semakin kompleks,

kedua AI ini mewakili dua arah masa depan bahasa buatan:

ChatGPT sebagai partner etis dalam belajar dan berbagi,

Cicero sebagai pemain taktis dalam ruang persaingan dan dominasi.


Dan kita, sebagai pengguna dan pemikir, dihadapkan pada pilihan: Mau bicara dengan AI yang merangkulmu, atau AI yang mengalahkanmu?








Referensi

  • Meta AI. (2022). CICERO: Artificial Intelligence that Can Strategically Use Language to Win the Game Diplomacy. https://ai.facebook.com/blog/cicero-ai-negotiation-diplomacy-game/
  • OpenAI. (2023). ChatGPT system card. https://openai.com/research
  • Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford University Press.
  • Gunkel, D. J. (2020). Robot Rights. MIT Press.
  • Floridi, L. (2014). The Ethics of Information. Oxford University Press.
  • Turkle, S. (2011). Alone Together. Basic Books.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd