Siapa Mengelola Data Kita? Kuasa, Kolonialisme Digital, dan Kepentingan Amerika Serikat di Balik Data Pribadi Warga Indonesia
![]() |
| Ilustrasi kedaulatan digital (Pic: Meta AI) |
Tanpa langkah konkret untuk membangun kedaulatan data, Indonesia berada di ambang kolonialisme generasi keempat
Pertanyaan tentang siapa yang mengelola data pribadi warga Indonesia bukan lagi soal teknis atau sekadar keamanan digital, melainkan menyangkut kedaulatan nasional, kolonialisme digital, dan relasi kuasa global.
Tulisan ini membedah bagaimana Amerika Serikat, melalui korporasi teknologi raksasa dan agenda geopolitik keamanan, telah menyasar data warga negara berkembang sebagai komoditas strategis, dengan dalih “melawan terorisme” atau “anti-Semitisme.”
Kasus pengawasan Israel atas warga Palestina melalui kerja sama dengan Google dijadikan pembanding, guna mengungkap motif tersembunyi yang serupa dalam konteks Indonesia.
Data Bukan Lagi Sekadar Informasi, tapi Aset Strategis Global
“Data is the new oil.”
— Clive Humby, 2006
Pernyataan ini kini terasa usang namun tetap relevan: data pribadi tidak lagi hanya untuk identifikasi, tetapi menjadi sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan intelijen.
Pertanyaan utama: Apakah Indonesia telah benar-benar merdeka dalam mengelola data warganya?
Jawabannya: belum sepenuhnya.
Siapa yang Mengelola Data Pribadi Indonesia?
a. Pemerintah Indonesia
Secara legal, pengelolaan data diatur melalui:
• UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)
• Dikelola oleh Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) di bawah Kemenkominfo.
Namun, secara praktik, banyak data yang masih disimpan, dikirim, atau diproses melalui server asing, terutama milik perusahaan raksasa asal Amerika Serikat: Google (Gmail, Drive, Ads), Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp), Microsoft (Outlook, OneDrive), Amazon Web Services (AWS), Apple (iCloud).
b. Korporasi Asing: Kuasa Big Tech
Sebagian besar aplikasi yang digunakan masyarakat Indonesia berbasis platform milik perusahaan AS.
Dalam syarat layanan (terms of service), banyak dari mereka memiliki klausul: “Data pengguna dapat disimpan dan dianalisis di luar yurisdiksi tempat tinggal pengguna.”
Ini berarti data rakyat Indonesia bisa dipindai, dimonetisasi, bahkan diawasi oleh lembaga intelijen asing.
Tujuan dan Manfaat AS Mengelola Data Pribadi Warga Indonesia
1. Alasan Resmi: Anti-Terorisme dan Keamanan Nasional
Pasca-9/11, AS meluncurkan program pengawasan global seperti PRISM (NSA) dan ECHELON.
Dengan akses ke data global, mereka mengklaim dapat:
• Mendeteksi jaringan teror di Asia Tenggara.
• Melacak aktivitas ekstremisme dan ujaran kebencian anti-Semit atau anti-Barat.
Namun…
2. Alasan Tersembunyi: Dominasi Global dan Kolonialisme Data
- Politik Informasi
• Data warga Indonesia dianalisis untuk memprediksi sikap politik, opini publik, dan pola konsumerisme.
• Bisa digunakan untuk: Influence operations (misalnya kampanye politik lewat Facebook) dan Manipulasi persepsi masyarakat terhadap isu internasional (misal: konflik Palestina-Israel).
- Ekonomi dan Bisnis
Perilaku digital warga digunakan untuk:
• Targeted advertising dan konsumerisme.
• Riset pasar produk global.
Artinya: Data orang Indonesia menjadi bahan bakar keuntungan ekonomi perusahaan AS.
- Intelijen dan Strategi Global
• Pemerintah AS bisa meminta data dari perusahaan seperti Meta dan Google dalam kerangka Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA).
• Data warga Indonesia bisa dipakai untuk menilai risiko geopolitik, posisi pemerintah terhadap AS, dan potensi ketidakstabilan.
Studi Banding: Israel, Palestina, dan Google
a. Kasus Project Nimbus (2021–2025)
Google dan Amazon terlibat dalam kontrak bernama Project Nimbus senilai USD 1,2 miliar dengan pemerintah Israel.
Proyek ini memberi Israel kemampuan:
• Memproses data warga Palestina melalui AI predictive surveillance.
• Melacak individu berdasarkan kata kunci, lokasi, jaringan sosial.
• Bukti-bukti menunjukkan sistem ini digunakan untuk pengawasan massal, profiling, dan penindasan digital terhadap rakyat Palestina.
b. Paralel dengan Indonesia
Jika Indonesia tidak membangun kedaulatan digital:
• Potensi terjadinya “pengawasan diam-diam” terhadap aktivis, ulama, dan warga biasa menjadi mungkin.
• Negara bisa dikendalikan melalui informasi asymmetry, di mana AS tahu banyak tentang Indonesia, tapi tidak sebaliknya.
Ancaman Global dari “Digital Colonialism”
Istilah ini merujuk pada praktik: Penguasaan data dan infrastruktur digital suatu bangsa oleh aktor asing untuk tujuan politik, ekonomi, dan militer.
Dampaknya pada Indonesia:
• Kedaulatan terancam.
• Data rakyat menjadi komoditas asing.
• Kebijakan dalam negeri bisa dikendalikan dari luar.
Apa Solusi untuk Indonesia?
a. Kedaulatan Data Nasional
• Wajibkan data warga disimpan di server domestik.
• Percepat pembangunan pusat data nasional.
b. Regulasi Ketat Big Tech
• Audit rutin terhadap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
• Transparansi algoritma, perlindungan metadata.
c. Aliansi Digital Selatan-Global
Kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk melawan dominasi digital AS.
Amerika Serikat memiliki motif ganda dalam keinginannya mengelola dan mengakses data warga Indonesia: alasan resmi seperti anti-terorisme hanya menjadi selubung bagi dominasi ekonomi-politik global melalui infrastruktur digital.
Tanpa langkah konkret untuk membangun kedaulatan data, Indonesia berada di ambang kolonialisme generasi keempat: penjajahan tanpa senjata, hanya lewat layar dan server.
Referensi
- Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.
- Snowden, E. (2019). Permanent Record. New York: Metropolitan Books.
- Morozov, E. (2011). The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom. New York: PublicAffairs.
- Amnesty International. (2023). Project Nimbus and Digital Repression in Palestine. London.
- Nugroho, Y., Siregar, M., & Laksmi, S. (2021). Mapping Indonesia’s Data Governance. Jakarta: CIPG.
- Kemenkominfo RI. (2022). UU Perlindungan Data Pribadi dan Tantangannya. Jakarta.

Komentar
Posting Komentar