Kesaksian KH. Rhoma Irama: Habib Tersandung Mabuk dan Manipulasi Ayat Suci?


Oleh: Drs. Akaha Taufan Aminudin


*SATUPENA JAWA TIMUR , KH. Rhoma Irama, sang Raja Dangdut yang dikenal religius, mengejutkan banyak pihak dengan kesaksian pribadinya soal perilaku seorang Habib yang tidak sejalan dengan nilai-nilai suci Islam.*


Lebih dari setengah abad menyimpan rahasia ini, kini Rhoma dengan berani buka suara, menantang stereotip dan memperingatkan umat Islam akan potensi penyimpangan dari mereka yang mengatasnamakan kekeramatan keturunan Nabi. 


Dalam artikel ini, kita akan mengupas sisi kemanusiaan di balik gelar “Habib” dan menggali tanggung jawab sosial seluruh elemen umat dalam menjaga keutuhan NKRI dan ajaran Islam.


Ketika bicara tentang tokoh religius, kita sering membayangkan kesucian dan teladan tanpa cela. Namun, KH. Rhoma Irama memberi kita perspektif berbeda yang tak mudah diterima: bahwa status tinggi seperti “Habib” tak otomatis menjamin perilaku yang sejalan dengan ajaran Islam.


Selama 58 tahun, Rhoma menyimpan pengalaman pahit melihat bagaimana seorang Habib yang seharusnya menjadi panutan justru terjerumus dalam kebiasaan yang mengkhianati nilai-nilai suci. 


Tidak hanya itu, Habib tersebut juga dituduh memanipulasi ayat-ayat Alquran. Ini jelas menggelitik ketegangan batin sang penyanyi legendaris yang selama ini dikenal sebagai pejuang moral dan budaya.


Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa baru sekarang Rhoma buka suara? Jawaban ini mungkin terkait dengan bobot tanggung jawabnya sebagai tokoh masyarakat dan keinginannya untuk menjaga integritas umat dan negara dari celah-celah penyalahgunaan simbol agama.


Pernyataan Rhoma soal taqwa keturunan Baalawi yang diragukan juga menambah panas perdebatan. Apakah kita selama ini terlalu mudah meng-akses agung seseorang cuma berdasarkan garis keturunan? Memang, secara ilmiah, studi genetika akan sulit membuktikan klaim keturunan tersebut, namun dalam konteks spiritual dan sosial, penghormatan sebagai Habib punya arti tersendiri. 


Tapi ketika gelar itu menjadi “tumpangan” untuk perilaku tidak terpuji, masyarakat tentu harus waspada.


Di tengah ketegangan ini, hadir sebuah gerakan yang disebut PWI LS Perjuangan WaliSongo Indonesia Laskar Sabilillah yang berusaha merespon dan mengawasi fenomena tersebut, bahkan mengajak tokoh seperti Rhoma Irama untuk wakaf diri mendukung keteguhan NKRI dan ajaran Islam yang benar. 


Gerakan semacam ini menunjukkan bahwa umat punya kesadaran untuk menjaga ajaran agama dari kerancuan sekaligus mempertahankan persatuan bangsa.


Namun, mari kita juga ingat, segala pernyataan sensitif harus diuji lewat dialog terbuka dan fakta yang terverifikasi. Tak elok jika perbedaan ini membuat kita saling mencibir, padahal tujuan kita sebetulnya sama: mengokohkan keimanan dan menjaga persatuan.


KH. Rhoma Irama mengajarkan kita bahwa menjadi seorang panutan agama bukan soal gelar, tapi konsistensi sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur. 


Mari kita refleksikan bersama, apakah selama ini kita sudah cukup kritis dan bijak dalam memandang figur agama, tanpa terjebak pada penilaian dangkal?


Mau tahu pendapat Anda? Apakah gelar Habib harus diuji perilaku secara ketat? Atau cukup dihormati sebagai simbol? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar dan sebarkan artikel ini agar diskursus ini makin bergema dan membangun.


*Kota Batu Wisata Sastra Budaya* 

SIKAB Selasa Kliwon 22 Juli 2025

Drs. Akaha Taufan Aminudin

*DPD PWI LS KOTA BATU JATIM*

SATUPENA JAWA TIMUR

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd