Interseksi Naratif Global South: BRICS dan Solidaritas Sipil Freedom Flotilla terhadap Palestina

Ilustrasi BRICS dan Frredom Flotilla (Pic: Meta AI)

Resistensi terhadap dominasi Barat tidak lagi hanya dilakukan lewat senjata atau embargo, tapi juga lewat kata, solidaritas, dan layar kapal yang mengangkut harapan


Isu Palestina telah lama menjadi episentrum ketegangan geopolitik global, di mana dukungan terhadap perjuangan rakyat Gaza sering kali datang dari aktor-aktor non-Barat. 


Pada tahun 2025, dunia kembali menyaksikan pelayaran misi kemanusiaan “Gaza Freedom Flotilla” yang bertujuan memecah blokade Israel terhadap Gaza. 


Di saat bersamaan, kelompok negara-negara BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—mengadakan pertemuan puncak ke-17 di Rio de Janeiro. 


Meskipun keduanya tampak berjalan dalam orbit yang berbeda, terdapat narasi ideologis dan geopolitik yang mempertemukan keduanya di persimpangan besar: resistensi terhadap hegemoni global yang dikendalikan oleh Barat.


Tulisan ini membahas keterhubungan antara narasi BRICS sebagai representasi negara-negara Global South dan gerakan sipil transnasional seperti Gaza Freedom Flotilla, serta bagaimana keduanya berkontribusi terhadap transformasi wacana global mengenai solidaritas, keadilan, dan multipolaritas.



Postkolonialisme dan Geopolitik Multipolaritas


Ketika kita menggunakan pendekatan interseksi teori postkolonialisme dan geopolitik multipolaritas, maka akan terlihat:


Postkolonialisme (Said, 1978; Spivak, 1988) menyoroti relasi kuasa antara negara pusat (Barat) dan pinggiran (Global South), termasuk dalam hal representasi politik dan kemanusiaan.


Geopolitik multipolaritas (Acharya, 2014; Zakaria, 2008) menggambarkan munculnya aktor-aktor non-Barat sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi unipolar pasca-Perang Dingin.


Konsep solidaritas transnasional (Keck & Sikkink, 1998) menjelaskan bagaimana gerakan sipil lintas negara dapat memengaruhi sistem internasional melalui kampanye normatif dan aksi langsung.



Analisis


1. BRICS dan Retorika Anti-Hegemoni


BRICS terbentuk sebagai blok ekonomi-politik yang merepresentasikan aspirasi negara-negara Global South untuk mengurangi ketergantungan pada sistem ekonomi dan politik Barat (Stuenkel, 2015). 


Dalam berbagai forum internasional, negara-negara anggota BRICS—khususnya Tiongkok, Rusia, dan Afrika Selatan—secara konsisten menyuarakan kritik terhadap intervensi sepihak AS dan dukungan tak terbatas terhadap Israel.


Pada tahun 2024, Afrika Selatan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional terhadap Israel atas dugaan genosida di Gaza. 


Tindakan ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan, tetapi telah menjadi bagian dari strategi diplomasi Global South untuk menyeimbangkan pengaruh moral global.


2. Gaza Freedom Flotilla sebagai Aksi Sipil Transnasional


Gaza Freedom Flotilla adalah misi kemanusiaan berbasis sipil dan internasional yang bertujuan untuk menembus blokade Gaza melalui laut. 


Meski bukan bagian dari struktur negara, misi ini mencerminkan solidaritas akar rumput terhadap Palestina. 


Aksi ini juga menyoroti kegagalan komunitas internasional formal (termasuk PBB) dalam mengatasi penderitaan rakyat Gaza.


Misi 2025 ini mendapat sorotan luas, terutama karena diluncurkan berdekatan dengan pertemuan BRICS di Rio. 


Beberapa aktivis dan pengamat melihat kedekatan temporal ini sebagai peluang strategis untuk menyinergikan tekanan moral sipil dan tekanan diplomatik negara Global South terhadap Israel dan pendukungnya.


3. Interseksi Naratif: Global South dalam Dua Spektrum


Meskipun BRICS dan Flotilla bergerak pada level berbeda—negara vs sipil—keduanya berbagi narasi:


Aspek

BRICS

Gaza Freedom Flotilla

Aktor utama

Negara Global South

Masyarakat sipil internasional

Pendekatan

Diplomasi resmi, forum internasional

Aksi langsung, kampanye kemanusiaan

Sikap terhadap Palestina

Mendukung solusi dua negara, menentang agresi Israel

Pro-Palestina, menentang blokade

Narasi utama

Dunia multipolar, keadilan global

Solidaritas, hak asasi manusia


Interseksi ini menguatkan identitas Global South sebagai kekuatan kolektif baru yang bukan hanya menantang ekonomi-politik Barat, tapi juga mendefinisikan ulang moralitas internasional.



BRICS dan Gaza Freedom Flotilla mewakili dua sisi dari perjuangan Global South melawan ketimpangan global. 


Yang satu berasal dari ruang diplomasi negara, yang lain dari jalanan dan laut, namun keduanya bertemu dalam satu wacana: melawan hegemoni, membela keadilan, dan menuntut dunia yang lebih setara. 


Interseksi keduanya pada pertengahan Juli 2025 menjadi simbol kuat dari kebangkitan naratif non-Barat dalam geopolitik kontemporer.


Dalam konteks ini, resistensi terhadap dominasi Barat tidak lagi hanya dilakukan lewat senjata atau embargo, tapi juga lewat kata, solidaritas, dan layar kapal yang mengangkut harapan. Dan pada akhirnya, seperti kata Frantz Fanon (1961), 


“Setiap generasi harus, dalam ketidakjelasan relatifnya, menemukan misinya.”


Mungkin generasi Global South hari ini telah menemukannya—di perairan Gaza dan di forum Rio.








Referensi

Acharya, A. (2014). The End of American World Order. Polity Press.

- Fanon, F. (1961). The Wretched of the Earth.

- Keck, M. E., & Sikkink, K. (1998). Activists beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics. Cornell University Press.

- Said, E. (1978). Orientalism. Pantheon Books.

- Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak

Stuenkel, O. (2015). The BRICS and the Future of Global Order. Lexington Books.

- Zakaria, F. (2008). The Post-American World. W. W. Norton & Company.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd