Palestina Menuju Kemerdekaan Tanpa Perang Saudara — Realitas Geopolitik dan Harapan

 

Ilustrasi Palestina (Pic: Meta AI)

Palestina bisa saja merdeka secara simbolik, tapi akan tetap lumpuh jika setiap kota dikuasai milisi yang beda kepentingan


Konflik Palestina selama lebih dari 75 tahun bukan cuma soal penjajahan Israel. Tapi juga:

Keretakan internal antar-faksi (Hamas, Fatah, Jihad Islami, Abu Shabab, dll).

Absennya kepemimpinan nasional yang utuh.

Perang proksi Timur Tengah, di mana negara-negara seperti Iran, Mesir, Turki, Qatar, dan Arab Saudi mendukung faksi berbeda-beda.


Sejak kemenangan Hamas dalam pemilu 2006, Palestina terbelah dua secara de facto:

Tepi Barat dikuasai Fatah → pemerintahan Otoritas Palestina (PA) yang moderat dan condong ke diplomasi.

Gaza dikuasai Hamas → lebih militan dan berorientasi perlawanan bersenjata.



Mengapa Fragmentasi Itu Berbahaya?


a) Devide et Impera Modern


Israel sangat diuntungkan dari perpecahan ini. Selama Palestina sibuk saling curiga dan berkonflik, maka:

Mereka tak bisa menyatukan tuntutan di PBB,

Gagal membentuk negosiasi terpadu internasional,

Dan terus dijadikan alasan untuk menunda pengakuan kemerdekaan.


b) Krisis Legitimasi Kepemimpinan


Mahmoud Abbas (Presiden Palestina) tak lagi dipercaya generasi muda. Hamas pun menghadapi kritik karena menjadikan Gaza medan tempur tanpa solusi pembangunan.



Jika Palestina Merdeka Hari Ini, Apa yang Akan Terjadi?


Potensi besar terjadinya perang saudara!

Karena:

Tak ada sistem transisi kekuasaan yang disepakati.

Hamas dan Fatah belum sepakat soal konstitusi, hukum, dan militer nasional.

Kekuatan bersenjata tersebar di berbagai tangan (milisi tak terkontrol).



Solusi: Jika Palestina Ingin Merdeka dan Damai


1. Piagam Rekonsiliasi Nasional


Dibutuhkan perjanjian tertulis yang mengikat semua faksi, tentang:

Sistem pemerintahan pasca-kemerdekaan (parlementer atau presidensial?).

Pemilu bebas yang diawasi internasional.

Pembagian kekuasaan sipil dan militer yang adil.


2. Pemerintahan Transisi


Seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan, Palestina butuh figur pemersatu yang:

Disepakati lintas faksi.

Berani melepaskan kepentingan kelompok demi negara.

Tidak tunduk pada agenda negara sponsor 


3. Demiliterisasi Bertahap


Hamas dan faksi militan harus diintegrasikan ke dalam pasukan nasional Palestina. Mirip proses demobilisasi tentara sipil di Timor Leste dan Bosnia:

Milisi dibina jadi pasukan resmi negara.

Proses disertai rekonsiliasi dan jaminan keadilan.


4. Negosiasi Bukan dengan Israel Saja, Tapi Antar-Faksi


“Kemerdekaan sejati tidak datang dari tangan musuh, tapi dari persatuan rakyat.”


Palestina harus menyelesaikan konflik internal dulu, baru bisa menyusun satu suara saat bernegosiasi dengan Israel dan dunia.



Studi Banding: Apa yang Bisa Dicontoh?

Di Irlandia, Faksi militan (IRA) akhirnya bersatu dengan pemerintah dalam Good Friday Agreement.


Sementara di Timor Leste, mengadakan pemilu terbuka, mengintegrasikan pejuang jadi aparat negara.


Sedangkan  Bosnia-Herzegovina, membentuk federasi multietnis pascaperang saudara.



Merdeka Bukan Soal Lepas dari Israel, Tapi Lepas dari Saling Curiga


Kemerdekaan tanpa perdamaian internal adalah bom waktu.


Palestina bisa saja merdeka secara simbolik, tapi akan tetap lumpuh jika setiap kota dikuasai milisi yang beda kepentingan.


Solusinya bukan hanya perjuangan ke luar, tapi penyembuhan ke dalam. Bukan hanya melawan Israel, tapi juga ego sektoral.


Dan mungkin—ini yang terberat—belajar memaafkan sesama saudara sendiri, sebelum menuntut keadilan dari penjajah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengupas Deep Learning: AI, Metode Abdul Mu'ti, dan Kurikulum Merdeka di Era Modern

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd