Trump & Netanyahu di Gedung Putih Ngapain? Tinjauan Geopolitik dan Psikologi Politik
![]() |
| Ilustrasi Donald Trump dan Benjamin Netanyahu (Pic: Meta AI) |
Bagi dunia, ini bukan perjanjian damai—melainkan panggung pertunjukan politik, sebab perdamaian tak pernah nyata jika ia hanya lahir dari kamera pers
Pertemuan antara Donald J. Trump dan Benjamin Netanyahu pada 8–9 Juli 2025 di Gedung Putih menjadi salah satu titik balik paling kontroversial dalam upaya diplomasi simbolik terhadap konflik Gaza.
Di tengah api perang yang masih menyala, pertemuan ini membawa dua pemimpin kontroversial dunia dalam satu panggung geopolitik global, menawarkan narasi baru soal “perdamaian”, sekaligus menciptakan polemik tentang keabsahan moral di baliknya.
Teori Terkait: “Diplomasi Realisme Simbolik”
Mengacu pada teori realisme dalam hubungan internasional, negara bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri.
Namun pertemuan ini memperlihatkan simbolisme diplomatik—ketika diplomasi tak hanya soal isi, tapi juga tentang kesan, pesan, dan persepsi.
Kepentingan Trump: Panggung Nobel & Pemilu
Trump memanfaatkan momentum ini:
1. Mengalihkan isu PHK massal terhadap pegawai federal.
2. Membangun narasi Nobel Perdamaian: Netanyahu dikabarkan mengusulkan Trump sebagai kandidat Nobel.
3. Meningkatkan daya tawar elektoral: terutama dari kalangan konservatif religius pro-Israel di AS.
“Saya telah menyelamatkan Timur Tengah. Mereka harus berterima kasih.” — Trump, Gedung Putih, 8 Juli 2025
Netanyahu: Legitimasi & Survival Politik
Netanyahu datang membawa tekanan dalam negeri akibat jatuhnya citra IDF dan tekanan internasional. Misinya:
1. Menampilkan Israel bukan agresor, tapi pihak yang terbuka pada gencatan senjata.
2. Menciptakan narasi pertahanan di hadapan publik global.
3. Memperebutkan ruang diplomatik agar Israel tidak ditinggalkan sekutu.
Gencatan Senjata: Realita atau Ilusi?
Meskipun pertemuan ini digambarkan sebagai inisiatif gencatan senjata, tidak ada:
• Dokumen yang ditandatangani.
• Jadwal jelas penarikan pasukan.
• Jaminan penghentian kekerasan dari kedua pihak.
Pakar menyebutnya sebagai “performative diplomacy” — lebih banyak citra dibanding substansi.
Dampak Terhadap Gaza dan Dunia Arab
1. Meningkatnya rasa frustrasi negara-negara Arab yang tidak dilibatkan.
2. Konflik internal Palestina meningkat akibat minimnya legitimasi proses damai.
3. Boikot terhadap AS dalam beberapa forum internasional.
Psikologi Politik: Citra dan Cinta Diri
Keduanya—Trump dan Netanyahu menunjukkan gejala “mirror diplomacy”:
• Mencintai citra diri mereka sebagai penyelamat.
• Tidak ingin digantikan dalam narasi sejarah.
• Melakukan diplomasi demi sejarah, bukan perdamaian.
Pertemuan Trump–Netanyahu merupakan titik temu antara kepentingan, citra, dan drama.
Bagi dunia, ini bukan perjanjian damai—melainkan panggung pertunjukan politik, sebab perdamaian tak pernah nyata jika ia hanya lahir dari kamera pers.
Referensi
- Morgenthau, H. (1948). Politics Among Nations
- Nye, J. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics
- Galtung, J. (1996). Peace by Peaceful Means
- Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.

Komentar
Posting Komentar