4 Pulau Aceh: Diambil Jauh dari Tanahnya – Asal Usul, Penyebab, dan Dampak Administratif

Ilustrasi pulau di tengah lautan (Pic: Meta AI)

Akumulasi data resmi, prosedur internal, dan ketidakhadiran Aceh saat itu jadi penyebab


Pada 22 April 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, disaksikan Mendagri saat itu, sepakat bahwa 4 pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, Panjang—termasuk wilayah Aceh berdasarkan peta perbatasan waktu itu. 


Sebagaimana dituangkan dalam Berita Acara Penegasan Batas Daerah Provinsi NAD dan Sumut yang ditandatangani oleh kedua gubernur serta disaksikan oleh perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri pada tahun 1992.


Penegasan ini didukung oleh penentuan pilar batas di Pulau Panjang pada 2002, yang menunjukkan koordinat yang lebih dekat ke Aceh.



Proses Pemetaan 2008–2009: Sumut Maju Duluan


Pada Mei 2008, saat pemetaan di Medan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (KKP, Kemendagri, TNI AL, Bakosurtanal), Sumut memasukkan keempat pulau tersebut dalam wilayahnya.


Sementara, di Banda Aceh pada November 2008, Aceh juga melakukan pemetaan—namun pulau-pulau ini tidak diikutkan. 


Sejak saat itu, muncul nota kesepakatan bahwa status 4 pulau masih sengketa, perlu difasilitasi pusat, tapi tidak pernah dikelola  .



Koordinat Salah & Kelalaian Administratif


Aceh menyampaikan surat keberatan pada Desember 2018 karena koordinat pulau oleh Sumut dianggap keliru dokumentasi sejak 2009.


Namun hingga 2017 tidak ada revisi, dan koordinat Sumut tetap digunakan dalam data nasional, yang kemudian menjadi dasar administrasi publik .



Kepmendagri 2022: Keputusan yang Mengejutkan


Pada Februari 2022, Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan Keputusan Nomor 050‑145/2022, menetapkan 4 pulau tersebut masuk administratif Sumut.


Sumut berdalih bahwa proses verifikasi sejak 2008 termasuk prosedur nasional.


Sementara Aceh menolak, menyebut penetapan itu sepihak dan mengabaikan sejarah serta konsensus 1992.



Diplomasi Lokal & Advokasi Hukum


Aceh Singkil dan DPRA membentuk tim advokasi dan mengirim somasi ke Kemendagri.


Pada Juni 2024, Kemenko Polhukam memfasilitasi pertemuan Aceh–Sumut bersama BPN, BIG, Pushidrosal, dan pemprov setempat untuk verifikasi lapangan  .


Aceh menyerahkan dokumen legal sejak 1965, termasuk SK Inspeksi Agraria, bukti monumen, dermaga, makam aulia, mushalla.



Biang Kerok: Kelalaian Administratif & Prosedur Bertahap


Peta Sumut 2008 lebih dulu diadopsi, sedangkan Aceh tidak ikut undangan—sehingga data Sumut yang menjadi basis Kemendagri.


Prosedur administratif seperti pemetaan nama rupabumi tidak mensyaratkan pengesahan dari Aceh.


Kepmendagri 2022 mengambil data tersebut sebagai final—meski banyak pihak menilai perlu dikembalikan ke status ad hoc karena protest Aceh.



Dampak Nyata & Rekonsiliasi


Secara administratif, 4 pulau masuk Sumut—tapi statusnya masih sengketa dan perlu ditetapkan ulang bila dokumen baru diverifikasi.


Aceh terus mendorong revisi dan menjalankan advokasi hukum.



Keempat pulau tersebut “berpindah” karena data awal yang dimasukkan oleh Sumut sejak 2008, tanpa klarifikasi geografis dari Aceh.


Prosedur administratif, bukan konspirasi jahat: akumulasi data resmi, prosedur internal, dan ketidakhadiran Aceh saat itu jadi penyebab.


Sekarang, hanya verifikasi lapangan dan diskusi multi pihak (Aceh, Sumut, pusat) yang bisa menuntaskan sengketa dan meletakkan penanda administratif demi keadilan sejarah.








Referensi

  • Pemerintah Aceh. (2024). Forum finalisasi status 4 pulau Aceh–Sumut. Humas Aceh.  
  • Kemendagri Republik Indonesia. (2022). Kepmendagri No. 050‑145/2022 tentang kode wilayah.  
  • Aceh.voi.id. (2022, Mei 23). DPRA bentuk tim advokasi 4 pulau Aceh.  
  • Detik.com. (2022). Kemendagri tetapkan 4 pulau di perbatasan Aceh‑Sumut masuk Sumut.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?