Antara Pisau dan Pikiran: Bukan AI yang Jahat, Tapi Penggunanya
![]() |
| Ilustrasi AI melakukan kejahatan (Pic: Meta AI) |
“Kejahatan digital bukan soal kecerdasan buatan, tapi kecerdasan manusia yang dipakai untuk hal-hal yang tidak manusiawi.”
Kemajuan teknologi, terutama dalam bidang kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), telah membawa revolusi besar dalam kehidupan manusia—dari otomasi industri, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga hiburan dan komunikasi.
Namun, seiring manfaatnya, muncul pula kecemasan terhadap potensi penyalahgunaan teknologi ini. Salah satu fenomena yang ramai diperbincangkan saat ini adalah meningkatnya kejahatan berbasis AI, mulai dari deepfake, penipuan suara (voice cloning), manipulasi informasi, hingga romance scam.
Pertanyaannya: apakah AI sebagai teknologi yang harus dipersalahkan? Atau justru manusialah—penggunanya—yang patut bertanggung jawab?
Memahami AI: Netral Secara Moral
AI tidak memiliki kehendak bebas. Ia adalah sistem yang bertindak berdasarkan data, instruksi, dan arsitektur yang dirancang oleh manusia.
Sama seperti pisau dapur yang bisa digunakan untuk memasak makanan lezat atau menyakiti orang lain, AI hanyalah alat yang kekuatannya tergantung pada siapa yang mengendalikannya.
“Technology is neither good nor bad; nor is it neutral.” – Melvin Kranzberg, sejarawan teknologi.
Kranzberg menekankan bahwa teknologi selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, dan etika di sekitarnya.
AI tidak “berkeinginan” untuk menipu atau menjerumuskan—manusialah yang menciptakan skenario tersebut dan menggunakan AI untuk tujuan pribadi yang merugikan orang lain.
Kejahatan AI: Produk dari Rekayasa Manusia
Beberapa bentuk penyalahgunaan AI yang saat ini marak:
• Deepfake dan Voice Cloning: Digunakan untuk memalsukan identitas tokoh publik atau individu untuk kepentingan politik atau penipuan.
• Chatbot Scammer: Diperintahkan untuk menggoda, membohongi, atau menjebak korban melalui pendekatan emosional.
• Manipulasi Sosial Media: AI digunakan untuk menyebarkan disinformasi secara massal.
• Penipuan Transaksi dan Identitas: Sistem otomatis bisa digunakan untuk mencuri data pribadi dan mengakses rekening bank korban.
Namun, semuanya bermula dari motif manusia. Tanpa niat buruk dari pelaku, AI tidak akan pernah menjadi ancaman.
Pengguna AI Bertanggung Jawab Etis dan Hukum
Hukum internasional dan nasional mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan ini:
• EU AI Act dan OECD Principles on AI menekankan prinsip tanggung jawab manusia atas penggunaan AI.
• Indonesia melalui RUU Perlindungan Data Pribadi dan kerangka regulasi teknologi juga menegaskan bahwa tanggung jawab etik berada di tangan pengembang dan pengguna, bukan AI itu sendiri.
Pendidikan Digital adalah Kunci
Alih-alih menakut-nakuti masyarakat, edukasi dan literasi digital harus diperkuat agar masyarakat mampu:
• Membedakan informasi palsu dan nyata.
• Mengenali taktik penipuan berbasis AI.
• Menggunakan AI secara bertanggung jawab dan produktif.
Jangan Bunuh Mesin, Perbaiki Manusia
AI bukan monster. AI adalah cermin. Ia menunjukkan apa yang ada di dalam hati penggunanya.
Jika ada kejahatan, maka penyebabnya bukan pada kode, melainkan pada niat dan motif manusia yang menanamkan maksud jahat ke dalam sistem.
Seperti kata seorang filsuf kontemporer:
“Kejahatan digital bukan soal kecerdasan buatan, tapi kecerdasan manusia yang dipakai untuk hal-hal yang tidak manusiawi.”
Referensi
- Kranzberg, M. (1986). Technology and history: “Kranzberg’s laws”. Technology and Culture, 27(3), 544-560.
- European Commission. (2024). Artificial Intelligence Act: Proposal for a Regulation. https://digital-strategy.ec.europa.eu
- OECD. (2019). OECD Principles on Artificial Intelligence. https://www.oecd.org/going-digital/ai/principles/
- Taddeo, M., & Floridi, L. (2018). How AI can be a force for good. Science, 361(6404), 751–752.
- Solaiman, I., Brundage, M., Clark, J., et al. (2019). Release Strategies and the Social Impacts of Language Models. arXiv preprint arXiv:1908.09203.

Komentar
Posting Komentar