Refleksi Tanpa Kedalaman: Politik Narcissus dan Krisis Demokrasi Emosional di Era Digital
![]() |
Ilustrasi narsis (Vis: Meta AI) |
Jika politik narcissus tak diatasi, kita hanya akan memiliki pemimpin yang pandai tampil, tapi gagal berpikir
Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah seorang pemuda yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri.
Kini, dalam lanskap politik kontemporer—terutama Indonesia—gejala serupa muncul di kalangan politisi dan publik: obsesi terhadap citra, popularitas, dan viralitas menggantikan fokus pada substansi dan keberpihakan kebijakan.
Fenomena ini disebut oleh para pengamat sebagai Politik Narcissus.
Definisi dan Karakteristik
Politik Narcissus adalah istilah yang merujuk pada gaya berpolitik yang:
• Menitikberatkan pencitraan personal ketimbang kinerja substantif,
• Mengejar viralitas di media sosial sebagai tolak ukur keberhasilan,
• Menggunakan emosi publik sebagai alat mobilisasi,
• Menghindari debat ideologis atau gagasan yang memerlukan pemikiran kritis.
Fenomena di Indonesia (2024–2025)
Beberapa indikator munculnya Politik Narcissus:
• Kampanye digital berbasis gimmick visual, bukan argumen programatik,
• Pemimpin politik tampil layaknya selebriti, dengan unggahan TikTok, Instagram, YouTube Shorts,
• Perdebatan publik diarahkan ke isu emosional dangkal (drama, gaya berpakaian, bahasa tubuh),
• Popularitas dalam polling dianggap prestasi, bukan indikator kepercayaan.
Konsekuensi Politik
Hal ini akan berakibat Demokrasi Substansi melemah; rakyat cenderung memilih karena “suka” bukan “percaya”.
Kebijakan publik rentan populisme; program diformulasi untuk suara, bukan solusi.
Ruang diskusi menyempit; kritik dianggap serangan personal.
Budaya politik bergeser dari musyawarah ke ekspresi spontan & sesat pikir.
Perspektif Psikologi Politik
Dalam teori psikologi politik, gaya Narcissus berkaitan dengan:
• Narsisme kolektif: kelompok pendukung merasa pemimpinnya cerminan diri mereka.
• Cognitive dissonance: pembelaan mati-matian terhadap tokoh, walau terbukti inkonsisten.
• Politics of emotion: alih-alih membangun rasionalitas, justru mengukuhkan loyalitas melalui rasa bangga, marah, atau takut.
Respons Akademik & Media
Media dan akademisi memperingatkan bahwa fenomena ini berpotensi menghasilkan “Demokrasi Emosional”: yaitu sistem politik yang tetap demokratis secara prosedural, tapi mengalami degradasi nilai secara substansial.
Dalam laporan Kompas (2025), dinyatakan bahwa “kemenangan bukan lagi soal kebijakan, tapi soal siapa paling relatable di kamera.”
Rekomendasi Kritis
• Pendidikan literasi politik untuk publik, agar pemilih tak terjebak pada gimmick,
• Keterlibatan akademisi dan jurnalis untuk membongkar manipulasi emosional,
• Platform digital harus memiliki algoritma yang memberi tempat untuk diskursus substantif,bukan sekadar konten clickbait.
Politik Narcissus bukan hanya ancaman bagi demokrasi; ia adalah cermin dari masyarakat yang telah kehilangan kedalaman.
Jika tak diatasi, kita hanya akan memiliki pemimpin yang pandai tampil, tapi gagal berpikir.
Referensi:
- Kompas, “Politik Narcissus di Negeri Para Ketua”, Juni 2025.
- Lipset, S.M. (1960). Political Man.
- Lasch, C. (1979). The Culture of Narcissism.
- Arendt, H. (1958). The Human Condition.
- Rancière, J. (2006). Hatred of Democracy.
Komentar
Posting Komentar