Klaim Membela Diri dalam Politik Zionis: Kajian Retorika dan Moral Ganda
![]() |
Ilustrasi klaim membela diri zionis (Vid: Meta AI) |
Kritik terhadap moral ganda dalam narasi global sangat diperlukan untuk mengembalikan keadilan wacana bagi pihak-pihak yang selama ini dimarginalisasi
Dalam diskursus internasional, Israel sering menggunakan retorika “hak membela diri” untuk membenarkan tindakan agresif terhadap Palestina dan negara-negara tetangga seperti Iran.
Kajian ini menganalisis bagaimana klaim tersebut digunakan secara strategis untuk meredam kritik, membentuk opini global, serta memutarbalikkan posisi pelaku dan korban.
Studi ini juga mengeksplorasi moral ganda yang melekat dalam narasi geopolitik Israel, khususnya dalam perbandingan dengan standar ganda yang dikenakan terhadap perlawanan pihak lawan.
Pendahuluan
Sejak berdirinya pada 1948, Israel menjadikan narasi “membela diri” sebagai landasan utama dalam berbagai operasi militernya, mulai dari invasi ke Lebanon, serangan ke Gaza, hingga serangan terbaru ke situs nuklir Iran pada Juni 2025.
Retorika ini kerap didukung oleh media Barat dan forum internasional, yang menempatkan Israel sebagai korban ancaman eksistensial.
Namun, jika dikaji lebih dalam, narasi ini mengandung manipulasi linguistik dan logika moral ganda: agresi dijustifikasi sebagai defensif, sementara perlawanan didelegitimasi sebagai terorisme.
Konsep Teoretis: Defensive-Offense Doctrine
Dalam ilmu hubungan internasional, Defensive-Offense Doctrine menjelaskan strategi di mana negara menyerang lebih dulu atas nama pencegahan, namun membungkusnya sebagai pertahanan diri.
Mearsheimer (2001) menekankan bahwa kekuatan besar cenderung bersikap ofensif untuk mengamankan posisi strategis mereka, dan klaim membela diri sering digunakan untuk memperhalus tindakan agresif.
Studi Kasus:
1. Serangan Israel ke Iran (2025)
Israel menyerang situs nuklir Iran tanpa serangan pendahuluan dari Iran.
Retorika: “Kami mencegah ancaman eksistensial.”
Padahal, serangan preventif secara hukum internasional adalah agresi, bukan pembelaan diri (UN Charter, Article 51).
2. Agresi di Gaza
Ketika Gaza dibombardir, dan Hamas meluncurkan roket balasan, narasi global justru menyebut Israel sedang “merespons ancaman”.
Fakta: banyak korban adalah warga sipil, termasuk anak-anak, yang meninggal saat berebut bantuan makanan.
3. Blokade Kemanusiaan
Israel menutup akses bantuan kemanusiaan ke Gaza, lalu menyebut kondisi kelaparan sebagai “konsekuensi operasi militer.”
Padahal, ini bentuk collective punishment, bukan self-defense.
Analisis Retorika: Siapa Sebenarnya Korban?
Israel sering menggunakan pemutarbalikan posisi (inversion strategy):
• Penjajah disebut korban.
• Warga terjajah yang melawan disebut agresor.
Finkelstein (2003) menyebut ini sebagai “inversi etis”—di mana pelaku kekerasan menggunakan narasi moral untuk mendistorsi kenyataan.
Moral Ganda Dunia Internasional
Ketika Ukraina diserang Rusia → Dunia marah, beri senjata.
Ketika Palestina dibombardir Israel → Dunia menyerukan de-eskalasi dan menegaskan “hak Israel membela diri.”
Mengapa hak membela diri hanya berlaku bagi negara sekutu, bukan bagi mereka yang dijajah?
Klaim “membela diri” dalam politik Zionis bukan semata-mata soal keamanan, melainkan taktik naratif untuk menghindari kecaman global, melanggengkan penjajahan, dan mendistorsi realitas konflik.
Kritik terhadap moral ganda dalam narasi global sangat diperlukan untuk mengembalikan keadilan wacana bagi pihak-pihak yang selama ini dimarginalisasi.
Referensi
- Finkelstein, N. (2003). Image and Reality of the Israel–Palestine Conflict. Verso.
- Mearsheimer, J. (2001). The Tragedy of Great Power Politics. W.W. Norton.
- United Nations. (1945). Charter of the United Nations.
- Al Jazeera. (2025, June 13–16). Coverage of Israeli–Iran escalation.
- Middle East Eye. (2025). Eyewitness accounts of drone strikes and media censorship.
- Human Rights Watch. (2024–2025). Reports on Gaza humanitarian crisis.
Komentar
Posting Komentar