Dunia Lebih Percaya Video daripada Mayat Anak-anak: Kritik Ketimpangan Narasi Konflik Israel–Palestina

Ilustrasi penderitaan anak-anak Palestina (Pic: Meta AI)

Saat dunia lebih mempercayai video ketimbang tangisan anak-anak yang kehilangan keluarga, maka yang tengah terjadi bukan hanya konflik geopolitik, melainkan pembunuhan nurani kolektif


Narasi global tentang konflik Israel–Palestina kerap dibentuk oleh arus informasi yang timpang, di mana visualisasi video menjadi alat dominan untuk membentuk opini, sementara fakta-fakta nyata seperti tubuh anak-anak tak bernyawa kerap diabaikan. 


Artikel ini mengeksplorasi bagaimana dunia lebih mudah tergugah oleh tayangan media yang dimanipulasi atau direkayasa secara sinematik ketimbang penderitaan riil korban di lapangan, serta bagaimana propaganda bekerja dalam membentuk persepsi publik secara sistematis dan tidak adil.



Pendahuluan


Konflik panjang antara Israel dan Palestina tidak hanya berlangsung di medan perang, tetapi juga di ranah narasi global. 


Video korban kekerasan pada 7 Oktober—sekitar 1.200 jiwa—mendapat eksposur global luar biasa.


Sementara korban di Gaza—lebih dari 54.000 jiwa (per Juni 2025), mayoritas wanita dan anak-anak—justru seperti debu yang ditiup media.


Di era digital, video menjadi alat yang kuat untuk membentuk persepsi. Namun ironisnya, penderitaan nyata rakyat Palestina—terutama anak-anak—seringkali gagal menggugah simpati dunia seperti halnya video rekayasa atau tayangan emosional dari satu pihak.



Tentang Video Kekejaman 7 Oktober


• Apakah video itu asli? Ya, sebagian besar diverifikasi.


• Tapi siapa pelakunya? Inilah titik kaburnya:

Serangan 7 Oktober melibatkan banyak elemen, tidak hanya Hamas, sehingga tidak ada jaminan bahwa semua kekerasan dilakukan dengan restu Hamas—apalagi jika terjadi pembajakan identitas.


Bahkan PBB pun tidak menyebut Hamas secara eksplisit sebagai satu-satunya pelaku kekerasan seksual atau mutilasi.



Propaganda & Perang Psikologis


Israel dan sekutunya telah dikenal luas dalam teknik: false flag operation, narrative shaping melalui media besar, serta editing dan seleksi informasi untuk memengaruhi opini publik


Kehancuran negara-negara di Timur Tengah, seperti Irak, Suriah, Libya, dan yang lain bukan kebetulan:

• WMD (senjata pemusnah massal) di Irak tidak pernah ditemukan, tapi dunia percaya karena narasi dibuat sangat meyakinkan

• Gambar “pengunjuk rasa damai” di Suriah menjadi pemicu intervensi, padahal situasi sangat kompleks dan disusupi kepentingan luar.

• Libya hancur karena dalih “penyelamatan rakyat dari diktator”, padahal kini menjadi negara gagal dan lahan perbudakan modern.


Dan kini Gaza…


“Jika kamu tak belajar dari propaganda masa lalu, kamu akan jadi mangsa propaganda masa kini.” – (Fallan, 2025)



Kekuatan Narasi Visual dan Ketimpangan Simpati


Di era post-truth, kebenaran visual seringkali lebih dipercaya ketimbang realitas. 


Ketika video yang memperlihatkan kekejaman diklaim dilakukan Hamas diputar berulang-ulang, simpati dunia tiba-tiba berpindah arah, meskipun belum terverifikasi secara independen. 


Sebaliknya, tayangan ribuan anak Palestina yang tewas, reruntuhan rumah sakit, dan genangan darah di sekolah hanya lewat sebagai latar belakang yang tak menyentuh.


“Dunia tidak kekurangan kata-kata, dunia kekurangan tindakan.”

— Emmanuel Macron, PBB 2025



Teknologi, Propaganda, dan Hilangnya Nurani


Israel dan sekutunya diketahui memiliki infrastruktur media dan cyber intelligence yang sangat maju. 


Taktik ini telah digunakan dalam konflik-konflik sebelumnya, mulai dari Irak, Suriah, hingga Libya. 


Manipulasi narasi dilakukan dengan teknik:

• Deepfake emosional: Menggunakan narasi personal yang menyentuh.

• Selective framing: Menyajikan konflik secara sepihak.

• Silencing by abundance: Membanjiri publik dengan satu jenis narasi hingga yang lain terbenam.


Sementara itu, korban nyata Palestina—54.000 lebih jiwa (data Juni 2025), mayoritas anak-anak dan perempuan—tidak mampu menandingi kekuatan narasi satu video berdurasi tiga menit.



Dampak Global: Pergeseran Dukungan dan Bias Persepsi


Pergeseran opini dari tokoh-tokoh dunia, termasuk Elon Musk, setelah menonton video tersebut, menjadi bukti nyata bahwa dunia lebih mudah digerakkan oleh emosi visual ketimbang fakta statistik atau bukti forensik. 


Ini memperlihatkan bahwa dalam perang modern, kamera bisa lebih tajam dari peluru, dan simpati bisa dijual dengan teknik penyuntingan.



Nurani yang Tumpul dan Simpati yang Tertawan


Saat dunia lebih mempercayai video ketimbang tangisan anak-anak yang kehilangan keluarga, maka yang tengah terjadi bukan hanya konflik geopolitik, melainkan pembunuhan nurani kolektif. 


Banyak orang terjebak pada emosi video berdurasi 3 menit, tapi tak sanggup menonton derita nyata selama 8 bulan di Gaza yang tak berhenti mengalir darah dan air mata.



Dunia internasional perlu meninjau ulang cara memverifikasi dan menanggapi krisis kemanusiaan, agar keadilan tak hanya menjadi milik mereka yang memiliki kamera dan mikrofon.







Referensi

  • Macron, E. (2025). Pernyataan Sidang Umum PBB. UNGA Proceedings.
  • UN OCHA (2025). Gaza Humanitarian Update: June 2025.
  • Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.
  • Chomsky, N. (2002). Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda. Seven Stories Press.
  • Fallan, Z. (2025). Dialog Pribadi tentang Keadilan dan Nurani Global. Komunikasi Pribadi dalam ChatGPT, OpenAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?