Kota Batu dan Dwianto Setyawan: Momentum Literasi Lokal

 



Oleh: Drs. Akaha Taufan Aminudin


Kabar baik datang dari Jawa Timur, di mana *Dwianto Setyawan diajukan sebagai penulis besar oleh SATUPENA Jawa Timur. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk Romo Sindhunata, menjadi simbol harapan bagi Kota Batu untuk menemukan jati diri sebagai kota sastra dan literasi*. Ini bukan sekadar pencapaian individu, tapi tonggak budaya yang meneguhkan identitas daerah lewat karyanya.


SATUPENA: Merajut Kenangan, Merayakan Penulis Besar dari Nusantara


Di tengah derasnya arus teknologi dan informasi masa kini, SATUPENA hadir sebagai penjaga warisan sastra Indonesia dengan merayakan penulis-penulis besar dari tiap provinsi. Inisiatif ini bukan sekadar mengenang, melainkan juga menghidupkan kembali jiwa budaya yang melekat pada kata-kata mereka. Melalui perayaan, seminar, dan diskusi, SATUPENA membuka ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, antara manusia dan kecerdasan buatan, serta mengukuhkan bahwa sastra adalah napas jiwa bangsa yang tak tergantikan.


*Jejak Penulis, Sebuah Warisan yang Tak Pernah Pudar*


Membayangkan Indonesia tanpa karya-karya besar dari penulis legendaris, seperti Buya Hamka dari Sumatra Barat, atau Ismail Marzuki dari Jakarta, seperti membayangkan sebuah taman tanpa bunga. Mereka bukan hanya sekedar nama—mereka adalah suara raga bangsa, yang suaranya masih bergema, meski sudah berpuluh tahun berlalu.


SATUPENA, sebuah gerakan yang diprakarsai oleh Denny JA dan kawan-kawan, mengajak kita untuk menelusuri kembali arsip kebudayaan ini dengan cara yang sarat makna: memilih satu penulis besar dari masing-masing provinsi yang dianggap telah memberikan sumbangsih luar biasa dalam membangun wajah budaya daerahnya.


,*Membentang dari Sabang sampai Merauke dengan Kata-kata*


Kita bisa membayangkan bagaimana NH Dini di Jawa Tengah menoreh cerita-cerita penuh kehalusan jiwa, sementara Montinggo Busye dari Lampung menulis warisan sastra yang unik dan khas daerah. Begitu juga Joko Pinurbo, dengan puisi jenakanya dari Jawa Barat, yang mampu membuat kita tersenyum sekaligus merenung.


Gerakan ini membuka mata kita bahwa karya sastra Indonesia begitu berwarna dan berlapis, mencerminkan keberagaman dan keragaman budaya negeri ini. Ia bukan hanya tentang tulisan di atas kertas, melainkan juga tentang bagaimana kata-kata menjadi nyawa bagi peradaban.


*Menghidupkan Kembali Dalam Era Digital dan AI*


“Sekarang pertempuran sastra bukan saja di medan manusia, tapi juga di medan mesin,” ungkap Denny JA, yang menyentuh realitas bahwa kecerdasan buatan semakin mampu mencipta kata-kata. Tapi, seperti napas yang tidak bisa diciptakan oleh algoritma, sastra sejati lahir dari pengalaman manusia—dari gelombang rasa dan pergulatan batin.


Ini adalah pengingat khusus bagi kita—penulis dan pembaca—bahwa sastra bukan sekadar soal kata-kata yang disusun rapi. Ia adalah cerminan jiwa kita, yang harus terus dirayakan dan dilindungi agar tidak lenyap digerus zaman.


*Tidak Sekedar Mengenang, Tapi Merayakan dengan Nyata*


SATUPENA mengajak tiap provinsi dan komunitas sastra untuk tidak hanya memilih nama penulis, tapi juga mengadakan berbagai acara menarik—seminar, pameran, pembacaan puisi, bahkan webinar global. Kegiatan ini memberikan peluang untuk membuka ruang diskusi, mengenal lebih dalam kehidupan dan karya para penulis, dan menyalakan kembali api inspirasi bagi generasi muda.


Bayangkan, saat Anda menyimak membaca puisi karya Rahman Arge dari Sulawesi Selatan, atau menonton diskusi mendalam tentang karya Suman HS dari Riau, Anda sedang ikut merawat peradaban.


*Kota Batu dan Dwianto Setyawan: Momentum Literasi Lokal*


Kabar baik datang dari Jawa Timur, di mana Dwianto Setyawan diajukan sebagai penulis besar oleh SATUPENA Jawa Timur. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk *Romo Sindhunata, menjadi simbol harapan bagi Kota Batu untuk menemukan jati diri sebagai kota sastra dan literasi. Ini bukan sekadar pencapaian individu, tapi tonggak budaya yang meneguhkan identitas daerah lewat karyanya.*


*Menjaga Warisan, Menghadapi Tantangan Masa Depan*


Selain program peringatan penulis besar, SATUPENA juga sebelumnya sudah memiliki program 100 buku yang membentuk Indonesia, menyatukan karya-karya yang telah mengukir sejarah pemikiran bangsa. Dengan berbagai kegiatan penghargaan dan talkshow, SATUPENA menjaga agar dunia kepenulisan Indonesia tetap hidup dan berkembang.


Tantangan zaman memang kian berat, tapi gerakan seperti ini memberi harapan bahwa tulisan dan sastra tetap menjadi bahasa universal yang menghubungkan hati manusia lintas generasi.


 

Merayakan penulis besar dari berbagai provinsi bukan sekadar menghormat pada masa lalu, tapi juga merupakan janji kita bersama untuk menjaga api peradaban agar terus menyala. Sebuah pengingat bahwa sastra adalah saksi waktu dan cermin jiwa bangsa.


Sebagaimana kata Denny JA, kata-kata mereka tak akan pernah hilang dalam kabut waktu. Mari bersama-sama kita sebarkan cerita mereka, belajar dari kehidupan mereka, dan terus menyalakan api keindahan sastra di negeri yang kaya ini. Karena pada akhirnya, setiap kata yang lahir dari jiwa adalah warisan manusia yang tak ternilai harganya.


Tulisan ini terinspirasi oleh gerakan SATUPENA dan dedikasi para penulis besar Indonesia dalam menjaga warisan intelektual bangsa.



*Kota Batu Wisata Sastra Budaya Jawa Timur Rabu 18 Juni 2025*

*Drs. Akaha Taufan Aminudin* 

*Koordinator Kreator Era AI KEAI JAWA TIMUR* & *KETUA UMUM SATUPENA JAWA TIMUR*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?