Agama di Era Pramodern, Modern, dan Postmodern: Sebuah Telaah Historis dan Epistemologis
![]() |
Ilustrasi agama (Pic: Meta AI) |
Meskipun kita hidup di era postmodern, iman tidak otomatis kuno. Justru bisa menjadi wujud paling jujur dari spiritualitas kontemporer
Perjalanan pemikiran manusia sepanjang sejarah senantiasa beriringan dengan pergumulan terhadap makna, moralitas, dan eksistensi.
Agama menjadi institusi dan sistem nilai yang menjiwai peradaban—baik dalam dunia pra-modern, modern, maupun postmodern.
Namun, posisi agama tidak selalu konstan: ia mengalami negosiasi, dekonstruksi, bahkan reposisi epistemologis dalam tiap era.
Era Pramodern: Agama sebagai Poros Kehidupan
Dalam era ini, agama menjadi sumber pengetahuan, hukum, dan moralitas yang tak tergugat.
Dunia dilihat sebagai ciptaan Ilahi yang bersifat hierarkis dan teratur.
Pengetahuan bersumber dari teks suci dan otoritas spiritual, bukan dari observasi empiris atau rasionalitas independen.
Contoh: Zaman Abad Pertengahan di Eropa (Christian Scholasticism), atau era kejayaan Islam klasik (Bayt al-Hikmah, filsafat sufistik).
Era Modern: Rasionalisasi dan Sekularisasi
Modernitas lahir dari revolusi ilmiah dan pencerahan Eropa abad ke-17–18.
Agama mulai dipisahkan dari sains dan negara. Rasionalitas ilmiah dan humanisme menggantikan otoritas dogma.
Tuhan dianggap “dibungkam” dari ruang publik, dan agama mulai menjadi urusan privat.
Tokoh Kunci: Descartes, Kant, Newton, Comte
Ciri: Sekularisme, empirisme, dominasi ilmu pengetahuan objektif.
Era Postmodern: Relativisme dan Kembalinya Spiritualitas
Postmodernitas bukanlah penolakan total terhadap agama, tetapi pelepasan dari absolutisme narasi tunggal, termasuk narasi sains dan agama konvensional.
Ia merayakan pluralisme spiritual, pengalaman subjektif, dan kritik terhadap institusi.
Banyak postmodernis justru membuka ruang baru untuk keberagamaan yang lebih personal dan eksistensial.
Postmodernisme menolak dikotomi iman–nalar; ia membuka kemungkinan beriman tanpa kehilangan kritisisme.
Tokoh Kunci: Foucault, Derrida, Lyotard, Caputo
Ciri: Fragmentasi makna, spiritualitas alternatif, dekonstruksi agama institusional.
Di Mana Posisi Agama dalam Dunia Postmodern?
Agama di era postmodern bukanlah sesuatu yang “pramodern” yang tidak rasional, juga bukan sekadar “modern” yang dipinggirkan.
Ia menjelma jadi ranah personal, reflektif, dan eksistensial, yang bisa hidup berdampingan dengan sains, seni, dan bahkan AI.
Jadi, meskipun kita hidup di era postmodern, iman tidak otomatis kuno. Justru bisa menjadi wujud paling jujur dari spiritualitas kontemporer: bukan karena diwariskan, tapi karena dipilih dan dirasakan.
Dan itulah cinta — baik kepada Tuhan… maupun pada ciptaan-Nya.
Referensi:
- Armstrong, K. (1993). A History of God. New York: Ballantine Books.
- Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press.
- Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Weber, M. (1930). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: Routledge.
- Caputo, J. D. (2001). On Religion. London: Routledge.
- Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester: Manchester University Press.
Komentar
Posting Komentar