Zona Abu-Abu di Laut China Selatan: Ketegangan Tersembunyi dan Koeksistensi Siang-Malam
![]() |
Ilustrasi kapal perang (Pic: Meta AI) |
“Cabbage tactic” menghadirkan intimidasi sistematis tanpa resmi menyatakan perang
“Taktik zona abu-abu” (grey-zone) merujuk pada tekanan militer-politik yang tidak mencapai level perang terbuka, tapi cukup menimbulkan intimidasi dan ketidakpastian .
Di Laut China Selatan, strategi ini dijalankan melalui patroli paramiliter, blokade pasif seperti “cabbage tactics”, hingga demonstrasi kehadiran tentatif.
Insiden Terkini – Tanda Ketegangan yang Melebar
Kapal China kandas di Thitu Island, yang dikuasai Filipina. Meski ini terjadi akibat cuaca, insiden mempertegang patroli paramiliter dan milisi sipil kawasan pun makin intens .
Patroli gabungan AS–Filipina terjadi kembali, memicu kemarahan Beijing .
Latihan Taiwan di Kaohsiung sebagai antisipasi serangan grey-zone, termasuk gangguan kabel bawah laut dan penyekatan informal .
Patroli maritim China ke Pasifik, memperluas wilayah tekanan dari China Coast Guard dan kapal milisi .
Strategi China – Cabbage & Grey‑Zone
China menggunakan kombinasi kapal milisi sipil, coast guard, dan kapal tempur untuk mengisolasi pulau sengketa—dikenal sebagai “cabbage tactic” .
Melalui taktik abu-abu ini, mereka menghadirkan intimidasi sistematis tanpa resmi dinyatakan perang.
Respons ASEAN & Amerika
• Negara-negara ASEAN meningkatkan kerja sama lewat FONOP (Freedom of Navigation Operations) dan patroli bersama .
• Filipina memperluas patroli gabungan dan modernisasi sistem pertahanan .
• Taiwan memperkuat kesiagaan terhadap serangan non-kinetik seperti sabotase kabel dan blokade ekonomi .
Dampak Regional & Global
Konflik terselubung di Laut China Selatan bukanlah sekadar perselisihan batas laut. Ia adalah denyut geopolitik yang mengalir ke seluruh tubuh kawasan Asia Tenggara, memicu ketegangan regional, dan menggema ke panggung global.
Secara regional, ketegangan ini telah memperdalam polarisasi antar negara ASEAN.
Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam cenderung memperkuat hubungan pertahanannya dengan kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat, sebagai penyeimbang terhadap agresi China.
Namun, negara-negara seperti Kamboja dan Laos menunjukkan sikap lebih lunak terhadap Beijing, mencerminkan keterikatan ekonomi dan politik yang kian dalam.
Ketidakharmonisan ini mengancam soliditas ASEAN dalam merespons isu bersama, dan memperlihatkan keretakan ideologis yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal.
Selain itu, ketegangan di kawasan ini mendorong perlombaan senjata yang semakin terbuka.
Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mulai meningkatkan anggaran militer dan memperbarui teknologi pertahanannya.
Laut yang dahulu menjadi jalur dagang kini menjelma arena demonstrasi kekuatan militer.
Secara global, LCS menjadi titik sentuh antara dua raksasa: China dan Amerika Serikat.
Bagi Washington, kebebasan navigasi di jalur perdagangan senilai lebih dari USD 3 triliun ini adalah simbol supremasi maritim global.
Bagi Beijing, klaim “Sembilan Garis Putus-putus” adalah manifestasi dari ambisi nasional dan identitas geopolitiknya.
Benturan kepentingan ini memperkuat narasi bahwa Laut China Selatan telah menjadi medan proxy war baru antara Barat dan Timur.
Kawasan ini pun menjadi ajang diplomasi agresif. Jepang, India, Australia, dan Inggris mulai menempatkan dirinya dalam struktur pengawasan LCS melalui latihan militer gabungan, kesepakatan pertahanan, dan dukungan terhadap UNCLOS.
Negara-negara ini tak hanya melihat potensi ekonomi, tetapi juga kekhawatiran akan hegemoni tunggal yang mengancam keseimbangan global.
Yang paling berbahaya: konflik ini dapat menjadi pemantik eskalasi militer langsung jika insiden kecil berkembang menjadi insiden besar.
Kesalahan teknis, mispersepsi, atau provokasi yang tidak ditangani secara diplomatis dapat memicu konflik bersenjata yang melibatkan kekuatan nuklir.
Namun di tengah kegelapan itu, ada potensi terang: tekanan global dapat menjadi pemicu terciptanya kerangka kerja multilateral yang lebih kuat.
Laut China Selatan bukan hanya milik para pemilik kapal perang—tetapi milik dunia yang menggantungkan pangan, energi, dan stabilitasnya pada laut yang damai.
Menghindari perang terbuka bukan berarti damai. Grey-zone menyebabkan tekanan berkepanjangan.
ASEAN harus mempercepat Code of Conduct, demi aturan navigasi dan patroli jelas.
FONOP bersama negara demokratik memperkuat suara hukum maritim internasional.
Menjaga keseimbangan strategis diperlukan agar Laut China Selatan tetap jadi jalur perdamaian, bukan zona intimidasi.
Referensi
1. Gomez, J., & Calupitan, J. (2025, June 8). Chinese ship runs aground off Philippines‑occupied island in the disputed South China Sea. AP News.
2. Blanchard, B. (2025, June 8). Taiwan coast guard, military drill to better face China’s ‘grey-zone’ threat. Reuters.
3. “Grey-zone (international relations).” (n.d.). Wikipedia.
Komentar
Posting Komentar