Israel dan Taktik Nangis Duluan Setelah Mencubit

Ilustrasi hak membela diri (Vid: Meta AI)

Israel menguasai narasi dengan dukungan media global, terutama Barat, yang secara historis memberi ruang besar bagi klaim self-defense Israel, sekalipun fakta di lapangan sering menunjukkan sebaliknya


Siapa sebenarnya yang menyerang lebih dulu, dan siapa yang terus-terusan bersembunyi di balik klaim “hak membela diri.” 


Ini bukan sekadar debat geopolitik, tapi juga soal narasi global yang timpang.



Fakta Awal Serangan:


Pada 12 Juni 2025, Israel menyerang situs nuklir Iran — tindakan ini jelas agresif dan preventif, bukan reaktif. 


Serangan dilakukan tanpa bukti bahwa Iran sedang mengancam secara langsung, dan itu melanggar kedaulatan nasional Iran. 


Jadi, jika Israel berdalih “membela diri,” pembelaan itu bukan terhadap serangan, tapi terhadap kekhawatiran masa depan.



Retorika “Membela Diri”: Siapa yang Paling Rajin Pakai?


Israel memang punya pola: Menyerang lebih dulu, lalu saat dibalas, berteriak: “Kami hanya membela diri!”


Contohnya:

• Serangan ke Gaza → lalu menyebut roket balasan Hamas sebagai bukti ancaman.

• Penindasan di Tepi Barat → lalu menyebut anak-anak pelempar batu sebagai “teroris muda.”

• Blokade makanan → lalu menyebut warga Palestina yang berebut bantuan sebagai “ancaman keamanan.”



Analisis Ilmiah: Propaganda Defensive-Offense


Dalam literatur hubungan internasional, strategi ini disebut sebagai: Defensive-Offense Doctrine (serangan proaktif yang dikemas seolah-olah sebagai tindakan bertahan).



Zionis dan Moral Ganda


Klaim membela diri seringkali hanya berlaku untuk Israel, sedangkan:

• Jika Hamas melawan → disebut “teroris.”

• Jika Iran membalas → disebut “provokasi.”

• Jika Palestina minta bantuan → disebut “ancaman demografi.”


Narasi ini dirancang untuk menggiring opini dunia, Israel menguasai narasi dengan dukungannya atas media global, terutama Barat, yang secara historis memberi ruang besar bagi klaim self-defense Israel, sekalipun fakta di lapangan sering menunjukkan sebaliknya.








Referensi:

  • Mearsheimer, J. (2001). The Tragedy of Great Power Politics. New York: Norton.
  • Finkelstein, N. (2003). Image and Reality of the Israel-Palestine Conflict. London: Verso. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?