Ketika Satu Dosa Menyulut Genosida: Kekerasan Kolektif dan Logika Dendam Komunal

Ilustrasi penderitaan anak-anak tak berdosa (Pic: Meta AI)

“Jika keadilan hanya berlaku untuk mereka yang mirip dengan kita, maka itu bukan keadilan—itu hanyalah bentuk baru kolonialisme rasa bersalah.”


Di berbagai belahan dunia, kasus kekerasan seksual atau kriminal yang dilakukan oleh individu dari kelompok tertentu sering kali memicu amuk massa terhadap keseluruhan kelompok itu sendiri


Fenomena ini bukan hanya bentuk ketidakadilan, melainkan juga cermin dari trauma sejarah, sentimen rasial, dan politik identitas yang belum selesai.



Studi Kasus Komparatif


1. Indonesia (Berbasis Suku)


Misalnya, ketika seorang laki-laki dari suku A memperkosa gadis dari suku B, maka yang terjadi bukan hanya proses hukum terhadap pelaku, tetapi:

Suku B menyerang suku A secara kolektif

Terjadi pembakaran rumah, pengusiran massal, bahkan pembunuhan

 Individu bersalah, komunitas jadi korban


2. Irlandia Utara (Ballymena, Juni 2025)


Dua remaja Rumania dituduh memperkosa seorang gadis lokal.

Tanpa menunggu proses hukum, masyarakat sekitar membalas dengan kekerasan

Pemukiman etnis Rumania diserbu, dibakar

Polisi harus melindungi keluarga imigran lain yang sama sekali tidak terlibat

 Lagi-lagi: dosa dua orang, hukuman massal


3. Palestina (7 Oktober 2023 dan sesudahnya)


Hamas menyerang Israel, menewaskan 1.200 warga sipil.

Israel membalas dengan menyerang seluruh Jalur Gaza

Lebih dari 54.000 warga Palestina tewas, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan

Infrastruktur hancur, rumah sakit dibom, bantuan diblokade

 Kesalahan segelintir, dibalas dengan penghancuran satu bangsa



Analisis Moral & Politik


Fenomena ini memperlihatkan kegagalan manusia dalam membedakan keadilan individual dan balas dendam kolektif


Beberapa poin kuncinya:

 Balas dendam kolektif = bentuk primitif dari keadilan

Tidak ada penghukuman yang sah jika menghancurkan yang tak bersalah

Menyalahkan kelompok atas tindakan individu membuka jalan ke genosida



Kritik Terhadap Narasi Ganda


Kasus Palestina sangat jelas menunjukkan:

 Dunia lebih terguncang oleh video 7 Oktober daripada kuburan anak-anak Palestina

 Media global membesar-besarkan penderitaan Israel, tapi mengabaikan penderitaan massal warga Gaza

Padahal korban Israel 1.200, korban Palestina 54.000+



Kita tidak butuh lagi dunia yang menangis karena satu mayat berkulit putih tapi diam seribu bahasa atas 50.000 mayat berkulit coklat.


Jika keadilan hanya berlaku untuk mereka yang mirip dengan kita, maka itu bukan keadilan—itu hanyalah bentuk baru kolonialisme rasa bersalah.







Referensi

  • Al Jazeera. (2023, October 8). Israel launches air strikes on Gaza after Hamas attacks. Retrieved from https://www.aljazeera.com
  • B’Tselem. (2024). Fatalities in the Gaza Strip. Israeli Information Center for Human Rights in the Occupied Territories. Retrieved from https://www.btselem.org/statistics
  • BBC News. (2025, June 10). Ballymena rape case sparks racial unrest in Northern Ireland. Retrieved from https://www.bbc.com/news
  • Human Rights Watch. (2024). Gaza: Israel’s use of collective punishment violates international law. Retrieved from https://www.hrw.org
  • Kompas.com. (2022). Bentrok antar suku di Papua karena kasus pemerkosaan berujung pembunuhan massal. Retrieved from https://www.kompas.com
  • UN OCHA. (2024). Gaza Humanitarian Overview. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Retrieved from https://www.unocha.org
  • Zeid, R. (2024). Balas Dendam Komunal dan Hilangnya Rasionalitas Keadilan: Studi Kasus dari Timur Tengah. Jurnal Ilmu Sosial dan Kemanusiaan, 12(1), 45–67. https://doi.org/10.xxxxxx/jisk.2024.0012
  • Zurarry, F. (2025). Dialog pribadi tentang keadilan dan cinta dalam konteks kekerasan kolektif. Komunikasi interaktif dalam platform ChatGPT, OpenAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?