Penulisan Ulang Sejarah Kekerasan 1998: Politik Peringatan vs. Pelupaan Kolektif

Ilustrasi kerusuhan (Vid: Meta AI)

Dalam buku sejarah yang ingin menghapus luka lama, semoga kita tetap jadi penjaga ingatan — bukan penandatangan lupa


Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan, dipimpin Fadli Zon, menggagas penulisan ulang sejarah Indonesia, termasuk menyertakan peristiwa prasejarah hingga era kekinian, dan menargetkan peluncuran menjelang 17 Agustus 2025.


Proyek ini didukung sekitar 100–113 sejarawan dan mengalokasikan dana Rp 9 miliar.


Tujuannya: menghapus bias kolonial, menekankan prestasi, dan memperkuat identitas nasional “Indonesia‑sentris”  .



Kontroversi pada Kekerasan 1998


Kekerasan Mei 1998: penjarahan, pembakaran, dan pembunuhan terhadap warga, terutama etnis Tionghoa — merenggut sedikitnya ribuan korban, termasuk ratusan kasus pemerkosaan.


Fadli Zon menyatakan era reformasi dan peristiwa Mei 1998 akan disajikan kembali, tetapi hanya dua dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui, dengan narasi lebih “positif” agar tidak memecah persatuan.



Perspektif Etis & Politik


Whitewashing risiko: Ada kekhawatiran proyek ini akan meminimalkan sisi gelap, terutama yang melibatkan aktor militer dan pelanggaran HAM berat.


Narasi pemenangan identitas nasional: Argumentasi menggunakan persatuan dan kebanggaan bisa menutupi proses akuntabilitas, padahal pengakuan menyeluruh atas kekerasan penting bagi rekonsiliasi.



Implikasi Historis dan Sosial


Menghapus istilah “Orde Lama”: Dipandang tidak inklusif, tapi penggantian ini dapat menghapus konteks sejarah demokrasi era Soekarno.


Pemilihan kasus yang diakui: Fokus hanya pada dua kasus HAM berat dari 12, menunjukkan selektivitas dalam akuntansi publik pasca-trauma.



Analisis Teoritis


Pierre Nora – Memoria vs. Histoire: Penulisan ulang sebagai alat menciptakan ‘memoria terpilih’, menguatkan ingatan kolektif (memoria) sembari menghapus ingatan traumatis (histoire).


Michel-Rolph Trouillot – Power in Narrative Production: Kita melihat kekuasaan naratif bekerja—siapa yang menentukan ‘fakta sejarah’ dan siapa yang dikecualikan.



Rekomendasi Kritis


1. Komisi Demokrasi Sejarah: Libatkan korban, aktivis HAM, sejarawan independen—bukan hanya akademisi pro-pemerintah.


2. Ruang Transparansi & Uji Publik: Draft sejarah harus tersedia secara terbuka untuk masukan publik sebelum disahkan.


3. Literasi Sejarah di Sekolah: Ajari generasi muda bukan hanya fakta, tapi cara berpikir kritis terhadap narasi.



Penulisan ulang Sejarah 1998 bukan sekadar pembaruan teks—ini soal hak atas ingatan kolektif dan keadilan masa lalu


Jika tidak hati‑hati, bisa berubah menjadi peralatan politik yang mematikan narasi korban.


Untuk demokrasi dan rekonsiliasi sejati, sejarah harus mencakup keseluruhan — bukan hanya bagian yang membanggakan.


Dalam buku sejarah yang ingin menghapus luka lama, semoga kita tetap jadi penjaga ingatan — bukan penandatangan lupa.





Referensi

  • Reuters: kekhawatiran whitewashing kekerasan 1998 dan 1965  
  • ANTARA, Medcom, Detik: kesiapan proyek, anggaran, struktur tim, dan capaian target
  • KalderaNews: kritik penghilangan istilah dan HAM berat  
  • Wikipedia & Detik: data kejadian dan karakter kekerasan 1998  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?