Setelah “Panci” Kini Demonstran Myanmar Memakai “Sarung”

Pengunjuk rasa Myanmar dengan sarungnya (pic: bbc.com)

Mitos “Sarung” membuat para wanita Myanmar beramai-ramai menggantungkan kain sarung di jalanan demi menghentikan pasukan keamanan yang akan melakukan penangkapan



Setelah menentang kudeta militet dengan cara supranatural memukuli panci dan wajan, kini warga Myanmar beralih menggunakan sarung.


Revolusi Sarung bersumber dari mitos yang dianut secara luas di Myanmar, yaitu bila seorang pria berjalan di bawah kain sarung perempuan (htamein), maka pria itu akan kehilangan sebagian kekuatan atau kejayaannya (hpone)



Polisi sibuk menurunkan sarung


Kepercayaan itulah yang membuat para wanita Myanmar beramai-ramai menggantungkan kain sarung mereka di tali jemuran yang dipasang di atas jalanan demi menghentikan langkah pasukan keamanan yang masuk ke area pemukiman warga untuk melakukan penangkapan.


Hal itu tampaknya cukup berhasil, sebab di beberapa tempat tetlihat para polisi sibuk menurunkan sarung-sarung dari jemuran saat akan melintasi jalanan.



Takhayul seksis


Seorang penulis sekaligus podcaster Burma, MiMi Aye, yang saat ini tinggal di Inggris, mengatakan aktivis perempuan menggunakan takhayul seksis ini demi keuntungan mereka.


Tradisi Htamein di sisi lain juga digunakan sebagai simbol keberuntungan jika sarung itu milik ibu mereka, sehingga pria yang pergi berperang akan menggulung potongan kecil dari sarung ibu mereka, dan memakainya sebagai anting-anting, demikian juga para pengunjuk rasa selama masa pemberontakan 8888 (pada 1998) mengenakan kain sarung ibu mereka sebagai bandana.


Dan kini, para pengunjuk rasa perempuan memilih memanfaatkan kekuatan kain sarung di ruang publik, sehingga saat Hari Perempuan Internasional, 8 Maret kemarin, mereka mengikat kain sarung ke tiang bendera sebagai bagian dari yang mereka sebut sebagai Revolusi Sarung.


Yang lebih parahnya, ternyata sejumlah pengunjuk rasa bahkan menempelkan foto Jenderal senior Min Aung Hlaing pada pembalut dan disebar di jalan-jalan, dengan tujuan menghambat gerak langkah pasukan militer, yang tentunya tidak akan mau menginjak wajah pemimpinnya yang tertempel pada pembalut itu.



Pengunjuk rasa perempuan banyak dibunuh pasukan keamanan


Kantor urusan Hak Asasi Manusia PBB menyatakan, hingga saat ini sudah lebih dari 54 orang, yang kebanyakan perempuan, telah dibunuh oleh pasukan keamanan dalam unjuk rasa.


Walau banyak kaumnya yang dibunuh saat unjuk rasa, namun para wanita di Myanmar menolak untuk diam, mereka menggunakan kain sarung untuk menentang kekuasaan militer dengan slogan "Sarung Kami, Panji Kami, Kemenangan Kami".



Tatmadaw bukti kengeyelan militer


Meskipun para pengunjuk rasa menyerukan untuk mengakhiri pemerintahan militer di Myanmar, dan membebaskan para pemimpin pemerintah yang dipilih secara demokratis, termasuk Aung San Suu Kyi yang telah ditahan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari lalu, namun militet hanya menganggapnya angin lalu.


Militer tetap ngeyel menuduh  Aung San Suu Kyi melakukan kecurangan pemilu, sehingga menyerahkan kekuasaan pada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing yang memberlakukan keadaan darurat selama setahun.


Jenderal Min Aung Hlaing berhasil mempertahankan kekuatan militer Myanmar yang disebut juga Tatmadaw, bahkan ketika negara itu sedang bergerak menuju demokrasi  karena ia memiliki pengaruh terhadap politik.




Sumber: bbc.con, kompas.com

Comments