Waspadai Jika Infeksi HIV Berkembang Jadi AIDS
Illustrasi HIV/AIDS (pic: depositphotos.com) |
Hal terpenting adalah kemampuan meredam hawa nafsu dengan menghindari pemicu terjadinya HIV, namun jika sudah terlanjur terjadi, kendalikanlah HIV sedini mungkin agar dapat menekan peluang timbulnya AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara masuk ke dalam sel darah putih dan merusaknya, akibatnya jumlah sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi akan menurun.
Hal tersebut membuat sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, sehingga penderitanya mudah terkena berbagai penyakit, saat itulah yang dinamakan Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS).
Infeksi oportunistik pada AIDS
Jika HIV adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, maka AIDS adalah kumpulan penyakit (sindrom) yang muncul akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Saat seseorang sudah tidak memiliki sistem kekebalan tubuh, maka semua penyakit mudah masuk ke dalam tubuh (infeksi oportunistik).
Akibat sistem kekebalan tubuh penderita AIDS menjadi lemah, maka penyakit yang tadinya tidak berbahaya bisa menjadi sangat berbahaya.
AIDS biasanya diiringi beragam penyakit, misalnya penyakit konstitusional, penyakit saraf, hingga penyakit infeksi sekunder.
Saat seseorang terinfeksi HIV, biasanya tidak langsung menyadari sedang terpapar virus berbahaya ini, sebab HIV membutuhkan waktu sekitar 2-15 tahun hingga muncul gejala.
Tahapan infeksi HIV berkembang menjadi AIDS:
Periode masa jendela
Adalah periode pemeriksaan tes antibody HIV yang masih menunjukkan hasil negatif, padahal virus dalam jumlah banyak telah masuk ke darah pasien.
Hal itu terjadi akibat antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai.
Antibodi terhadap HIV biasanya baru muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer.
Saat periode ini sangat penting diperhatikan karena pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
Fase infeksi akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dengan jumlah hingga berjuta-juta virion.
Viremia dari begitu banyak virion tersebut dapat memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip penyakit flu atau infeksi mononukleosa.
Sekitar 50-70 persen orang yang terinfeksi HIV diperkirakan mengalami sindrom infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum, yaitu: Demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, dan penurunan berat badan.
Meskipun paparan HIV baru terjadi pada stadium infeksi yang masih awal, namun HIV sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf, yang bisa menyebabkan: Meningitis, ensefalitis, neuropati perifer, dan mielopati. Sedanhkan gejala pada dematologi atau kulit, antara lain ruam makropapuler eritematosa dan ulkus mukokutan.
Fase infeksi laten
Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfa dapat menyebabkan virion dapat dikendalikan, sehingga gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten.
Itulah kenapa pada fese ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa.
Fase infeksi laten berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV.
Pada tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV, penderita mungkin akan mengalami berbagai gejala klinis, antara lain: Demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10 persen, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, dan penyakit infeksi kulit berulang.
Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik. Pembengkakan kelenjar limfa dan diare secara terus-menerus termasuk gejala infeksi oportunistik.
Fase infeksi kronos (AIDS)
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus HIV yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus.
Fungsi kelenjar limfa adalah sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Pada fese ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik.
Respons imum tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan, limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang kian banyak.
Penurunan limfosit mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin rentan terhadap berbagai penakit infeksi sekunder.
Perjalanan penyakit kemudian semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS yang seting disertai infeksi sekunder, antara lain: Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptisporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esophagus, kandidiasis trachea, kandidiasis bronchus atau paru-paru, bahkan infeksi jamur jenis lain, seperti histoplasmosis, koksidiodomikosis.
Terkadang juga ditemukan beberapa jenis kanker, yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker sarcoma Kaposi’s.
Terapi ARV
Pada tahap ini, penderita HIV/AIDS harus segera dibawa ke dokter dan menjalani terapi anti-retroviral virus (ARV) untuk mengendalikan virus HIV di dalam tubuh sehingga dampak infeksi bisa ditekan.
Namun hal terpenting dari semua itu adalah kemampuan meredam hawa nafsu dengan menghindari hal-hal yang bisa memicu terjadinya HIV, namun jika sudah terlanjur terjadi, kendalikanlah HIV sedini mungkin agar dapat menekan peluang timbulnya AIDS.
Sumber: Buku Bahan Ajar AIDS pada Asuhan Kebidanan (2015) oleh Yulrina Ardhiyanti, SKM., M.Kes., dkk, Buku HIV & AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial Edisi 2 (2014) oleh Nasronudin, kompas.com
Comments
Post a Comment