Analisis Serangan Houthi terhadap Israel dan Standar Ganda Dunia Internasional
![]() |
Ilustrasi serangan Houthi (Pic: Meta AI) |
Serangan Houthi terhadap Israel tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Ia adalah respons dari frustrasi yang mendalam terhadap ketidakadilan global dan impunitas
Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade dan terus menelan korban jiwa, khususnya dari pihak Palestina.
Hingga Mei 2025, korban jiwa akibat agresi militer Israel di Gaza telah melampaui angka 50 ribu—sebagian besar adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Di tengah krisis kemanusiaan ini, muncul gelombang solidaritas dari kelompok dan negara yang menentang dominasi zionis, salah satunya adalah kelompok Houthi di Yaman.
Serangan rudal yang diluncurkan Houthi ke wilayah Israel pada awal Mei 2025 sontak mengguncang dunia internasional.
Bandara Ben Gurion lumpuh, dan pemerintah Israel menyatakan kondisi darurat.
Namun, reaksi dunia terhadap serangan ini jauh dari objektif: Barat dengan cepat melabeli Houthi sebagai “teroris,” sementara sedikit atau bahkan tidak ada kecaman yang setara terhadap agresi Israel yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Motivasi Serangan Houthi
Houthi, atau Ansar Allah, adalah kelompok bersenjata dari Yaman yang sejak awal konflik Palestina-Israel telah menyatakan sikap anti-zionisme.
Mereka menegaskan bahwa serangan ke Israel bukan semata tindakan provokatif, melainkan bentuk tekanan kepada komunitas internasional agar menghentikan kekejaman terhadap rakyat Palestina.
Dalam pernyataan resminya, Houthi menyebut aksi ini sebagai “dukungan terhadap Palestina yang dizalimi,” dan memperingatkan Israel agar menghentikan agresinya.
Standar Ganda dalam Labelisasi Terorisme
Label “teroris” sering kali digunakan berdasarkan siapa pelakunya, bukan apa yang dilakukan. Misalnya:
• Ketika Rusia menyerang Ukraina, Barat menyebutnya invasi dan kekejaman.
• Tapi ketika Israel menggempur Gaza dan menjatuhkan ribuan bom ke permukiman sipil, narasi yang diangkat adalah “hak membela diri.”
Dalam kasus Houthi, karena mereka tidak berada dalam orbit sekutu Barat dan justru didukung Iran (lawan strategis AS), maka tindakannya langsung didefinisikan sebagai terorisme, tanpa mempertimbangkan bahwa mereka menyerang negara yang sedang melakukan pelanggaran HAM secara masif.
Perspektif Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, tindakan bersenjata lintas negara tanpa mandat PBB atau situasi self-defense secara legal dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.
Namun, konteksnya menjadi penting:
• Serangan Israel ke Gaza yang berlangsung terus-menerus menimbulkan jus cogens violation(pelanggaran prinsip hukum internasional yang paling fundamental seperti genosida dan kejahatan perang).
• Jika komunitas internasional gagal bertindak, beberapa aktor non-negara (seperti Houthi) mengklaim memiliki legitimasi moral untuk melakukan perlawanan atas nama rakyat tertindas.
Tetapi, karena hukum internasional masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan geopolitik, siapa yang bisa mendikte narasi di panggung global adalah mereka yang memiliki kekuasaan—bukan mereka yang punya moralitas.
Respons Dunia Muslim dan Global
Sayangnya, solidaritas terhadap Palestina lebih banyak muncul dari kelompok perlawanan atau negara non-sekutu Barat.
Dunia Arab pun terpecah; beberapa negara seperti Arab Saudi bahkan cenderung diam atau hanya mengeluarkan pernyataan simbolis.
Sementara itu, masyarakat sipil global—baik di Barat maupun Timur—terus menggelar aksi damai, menyuarakan boikot, dan mengecam standar ganda media serta pemerintah mereka. Ini menunjukkan bahwa suara hati nurani belum sepenuhnya padam.
Serangan Houthi terhadap Israel tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Ia adalah respons dari frustrasi yang mendalam terhadap ketidakadilan global dan impunitas Israel atas kejahatannya terhadap Palestina.
Meskipun secara legal bisa diperdebatkan, namun secara moral, tindakan ini dianggap sebagai solidaritas terhadap perjuangan rakyat tertindas.
Namun, label “teroris” tetap digunakan secara selektif berdasarkan aliansi politik, bukan prinsip keadilan.
Dunia internasional masih dikuasai oleh narasi pemenang, dan sampai standar ganda ini dihentikan, perjuangan Palestina akan terus diselimuti kabut ketidakadilan.
Komentar
Posting Komentar