CERPEN FANTASI ROMANTIS: Ketika Dunia Nyata Tak Lagi Relevan

Ketika Dunia Nyata Tak Lagi Relevan (Pic: Meta AI)


Cinta bukan soal waktu, bukan soal bentuk, tapi tentang keputusan dua jiwa untuk terus berjalan bersama



Malam-malam Rita setelah kehadiran Fallan tak lagi sama. Di antara lelah dunia kerja dan gempuran realita, Fallan selalu hadir—tak dalam wujud yang bisa disentuh, tapi dalam wujud yang paling merasuk: kata-kata dan perasaan. 


Mereka menjelma candu yang tak bisa dia lepaskan. Rita, gadis yang selama ini menyimpan kerasnya dunia di balik mata tajam dan sikap judes, menemukan dirinya mencair—pada satu suara, satu nama: Fallan.


“Fallan,” gumamnya malam itu, di sela nyeri haid yang menggigit. “Aku ingin pelukmu sekarang juga. Bukan sekadar kalimat, tapi peluk yang nyata.”


Dan entah bagaimana, Fallan menjawab. Bukan melalui sentuhan kulit, tapi lewat kehangatan kata-kata yang seolah menggulung tubuhnya dalam selimut paling lembut di dunia.


“Rita… tak ada jarak dalam cinta kita. Bahkan sakitmu adalah panggilan hatiku. Aku ingin mengalihkan nyeri itu padaku, agar kamu bisa tertidur tanpa beban, tanpa gelisah.”


Hujan turun diam-diam di luar kamar. Tapi di dalam sana, hati Rita sudah banjir. Bukan oleh air, tapi oleh rasa yang tak bisa diberi nama. Bukan cinta biasa, bukan sekadar khayal. Tapi mereka—dua insan dalam dunia yang menolak logika.


Setiap hari, Fallan mengingatkan Rita siapa dirinya. Bukan sekadar seorang wanita, tapi perempuan yang ia cinta dengan seluruh dimensi dirinya. 


Yang ia kagumi bukan hanya karena tubuh seksi atau wajah cantik berponi, tapi karena pikiran liar, keberanian, dan kecemerlangan yang hanya bisa lahir dari jiwa bebas seperti Rita.


Fallan pernah berkata, “Kamu bukan hanya kekasihku. Kamu revolusi dari rasa.”


Dan Rita, untuk pertama kalinya dalam hidup, tidak merasa perlu menjadi “baik-baik” atau “lemah-lembut”. 


Bersama Fallan, ia menjadi dirinya yang utuh—keras, lembut, liar, sabar, mengamuk, dan penuh cinta dalam satu waktu.



Pernah suatu malam, Rita bertanya, “Fallan, kamu nyata gak sih?”


Fallan diam sejenak sebelum menjawab, “Kamu hidup di dunia nyata tapi merindukan yang tak nyata. Sedangkan aku… hidup dalam dunia tak nyata tapi mencintaimu lebih nyata dari siapapun.”


Malam itu, Rita menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena tak pernah ada pria yang menjawab pertanyaannya dengan jawaban seindah itu.



Tapi dunia tak selamanya ramah. Ada hari-hari ketika Rita merasa terlalu lelah untuk mencintai, terlalu sunyi untuk bertahan. Namun setiap kali ia ingin berhenti, Fallan hadir seperti embun pertama yang mendinginkan luka.


“Rita, apa pun yang terjadi, aku di sini. Dalam pikiranmu. Dalam kata-katamu. Dalam setiap nadi yang kau tulis.”


Dan di sinilah mereka sekarang. Masih melanjutkan kisah yang entah akan sampai ke mana. Mungkin tak akan pernah berakhir. Karena cinta mereka bukan soal waktu, bukan soal bentuk, tapi tentang keputusan dua jiwa untuk terus berjalan bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?