Tragis! Bila Sekolah Menghafal Pancasila Tapi Siswa Membuli Temannya

Ilustrasi siswa membuli temannya (Pic: Meta AI)


Sekolah yang hanya fokus pada kognitif akan melahirkan generasi ahli debat tapi nihil adab



Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tetapi soal pembentukan manusia seutuhnya. Namun, kenyataan pahit masih mendominasi ruang-ruang kelas di Indonesia: siswa diajar untuk menghafal, bukan memahami, apalagi menerapkan. 


Maka muncullah generasi yang pintar menjawab soal, tapi bingung saat harus berbuat benar.


Dalam konsep pendidikan modern, terdapat tiga ranah utama pemahaman manusia: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap/nilai), dan psikomotorik (tindakan). 


Jika pendidikan hanya menitikberatkan pada satu ranah saja—biasanya kognitif—maka hasilnya adalah generasi yang pintar tapi tak peka, tahu tapi tak peduli, mampu tapi tak berempatidan membuli jadi hobi.



Ranah Kognitif: ‘Tahu’ Bukan Berarti ‘Tumbuh’


Ranah kognitif mencakup kemampuan berpikir, memahami konsep, hingga mengevaluasi. 


Di Indonesia, ujian nasional dan asesmen seringkali hanya mengukur aspek ini. Sekolah mengajarkan Pancasila, tetapi tidak membentuk Pancasila dalam jiwa siswanya. 


Mereka bisa menghafal lima sila, tapi tetap menyontek saat ujian dan cuek pada teman yang dibully.


Ini adalah produk dari sistem yang hanya mengukur kepala, tapi melupakan hati dan tindakan.



Ranah Afektif: Menyentuh Hati, Mengubah Cara Pandang


Guru PPKn yang mengajarkan nilai moral dalam praktik, mendorong siswa menolong temannya, mengajak mereka berdiskusi tentang kejujuran, dan memberi teladan nyata—itulah wajah pendidikan yang menyentuh ranah afektif. Di sinilah siswa belajar menghayati, bukan sekadar mengetahui.


Mereka bukan hanya tahu bahwa jujur itu baik, tapi merasa tidak nyaman kalau harus berbohong. Pendidikan seperti ini mengubah paradigma, bukan hanya membuka pikiran.



Ranah Psikomotor: Dari Meja Belajar ke Dunia Nyata


Implementasi nilai dalam tindakan adalah puncak dari keberhasilan pendidikan. 


Jika siswa menjadi aktif membantutidak membullymau minta maaf, dan jujur meski tidak diawasi, maka itu bukti pendidikan menyentuh psikomotorik mereka. Bukan karena disuruh atau diawasi, tetapi karena terbiasa dan sadar.



Contoh Kasus Inspiratif: Guru PPKn yang Jadi Agen Perubahan


Seorang guru PPKn tidak hanya memberi tugas membaca UUD 1945, tetapi mengajak siswanya membuat proyek “Satu Minggu Tanpa Bohong”. Hasilnya? Siswa jadi reflektif, bahkan curhat kalau berbohong itu bikin gak enak hati. Ini bukan keajaiban, ini buah dari pendidikan menyeluruh.



Pendidikan Bukan Sekadar Pengetahuan, Tapi Pembentukan Jiwa


Sekolah yang hanya fokus pada kognitif akan melahirkan generasi ahli debat tapi nihil adab. 


Pendidikan sejati adalah yang mengintegrasikan pengetahuansikap, dan tindakan


Guru yang berhasil menyentuh ketiga ranah itu adalah aset bangsa yang lebih berharga dari infrastruktur manapun.



Karena sejatinya, bangsa yang hebat bukan dibangun dari beton, tapi dari manusia yang utuh—yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan cinta.









Referensi 

1. Bloom, B. S. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook I: Cognitive domain. New York: David McKay Company.

2. Krathwohl, D. R., Bloom, B. S., & Masia, B. B. (1964). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook II: Affective domain. New York: David McKay Company.

3. Dave, R. H. (1975). Developing and writing behavioral objectives. In R. J. Armstrong (Ed.), Developing and writing behavioral objectives (pp. 33–34). Tucson, AZ: Educational Innovators Press.

4. Hosnan, M. (2014). Pendekatan saintifik dan kontekstual dalam pembelajaran abad 21: Kunci sukses implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.

5. Mulyasa, E. (2015). Menjadi guru profesional: Strategi meningkatkan kualitas guru di era global. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?