Hari Pendidikan Nasional & Warisan Ki Hajar Dewantara

Ceria dan bahagia di Hari Pendidikan Nasional (Pic:Meta AI)


Hardiknas bukan sekadar peringatan seremonial, tapi momen untuk kembali menyelami gagasan luhur Ki Hajar Dewantara: pendidikan adalah jalan kemerdekaan sejati



Tanggal 2 Mei bukan sekadar upacara tahunan, melainkan momentum penting untuk merenungi kembali esensi pendidikan Indonesia. 


Hardiknas tak bisa dipisahkan dari sosok Ki Hajar Dewantara, tokoh revolusioner yang meletakkan fondasi pendidikan berbasis kebudayaan, karakter, dan emansipasi rakyat. 


Penetapan tanggal ini bukan kebetulan, melainkan pengakuan negara atas kontribusi intelektual dan moral beliau terhadap peradaban bangsa.



Siapa Ki Hajar Dewantara?


Bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau lahir 2 Mei 1889 di Yogyakarta. 


Latar belakang bangsawan tidak membuatnya lupa pada nasib rakyat jelata. Justru ia menjadi pelopor pendidikan rakyat dengan mendirikan Taman Siswa (1922) — sekolah alternatif yang menolak diskriminasi ras dan kelas.


Meskipun zaman Ki Hajar Dewantara (1889–1959) belum mengenal dokumentasi digital seperti sekarang, tapi banyak catatan sejarah yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pembaca dan penulis ulung. Ini beberapa buktinya:


1. Kiprahnya sebagai jurnalis dan penulis


Ki Hajar pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar seperti De ExpressOetoesan Hindia, dan Tjahaja Timoer


Ia menulis ratusan artikel kritis tentang kolonialisme, pendidikan, dan kebudayaan. 


Mustahil seseorang bisa menulis selugas itu tanpa kegemaran membaca.


2. Dikenal menguasai banyak referensi Eropa dan Nusantara


Dalam tulisannya, Ki Hajar sering mengutip pemikiran tokoh-tokoh Barat seperti Jean-Jacques Rousseau atau John Dewey. 


Ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya membaca literatur lokal, tetapi juga bacaan internasional.


3. Pendidikan informal dan otodidaknya


Karena tidak menyelesaikan pendidikan medisnya di STOVIA, ia belajar secara otodidak — dan itu berarti membaca adalah senjatanya. 


Bahkan saat dibuang ke Belanda oleh pemerintah kolonial, ia menghabiskan waktunya membaca dan menulis.


4. Tokoh pendidikan yang mendirikan Taman Siswa


Untuk mendirikan sistem pendidikan alternatif seperti Taman Siswa, Ki Hajar jelas harus banyak membaca referensi pendidikan, filsafat, dan kebudayaan. 


Ini dibuktikan dengan metode pengajarannya yang progresif dan sangat kontekstual.



Filosofi Pendidikan: Tut Wuri Handayani


Pemikiran Ki Hajar dirangkum dalam tiga prinsip:

 Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan)

 Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat)

 Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan)


Prinsip ini masih relevan hingga kini: pemimpin pendidikan ideal adalah mereka yang tak hanya memerintah, tapi menginspirasi dan mendampingi.



Pendidikan sebagai Pembebasan


Ki Hajar menolak sistem pendidikan kolonial yang menindas dan mencetak manusia patuh. 


Ia menginginkan sistem yang membebaskan, mengembangkan potensi, dan berpijak pada kebudayaan sendiri.


Baginya, pendidikan harus berakar pada budaya bangsa dan berpuncak pada kemanusiaan universal.



Hardiknas sebagai Momentum Kritis


Hardiknas adalah kesempatan refleksi:


Apakah pendidikan kita sudah inklusif dan humanis seperti Taman Siswa dulu?


Apakah pendidikan kita masih menjunjung karakter dan gotong royong?


Atau justru semakin terseret arus pasar, skor, dan komersialisasi?



Hardiknas bukan sekadar peringatan seremonial, tapi momen untuk kembali menyelami gagasan luhur Ki Hajar Dewantara: pendidikan adalah jalan kemerdekaan sejati.


Ia bukan soal seberapa tinggi nilai ujian, tapi seberapa tinggi karakter dan empati manusia yang dibentuk.


Ki Hajar tak hanya guru bangsa, tapi juga arsitek moral negeri ini.


Maka setiap Hardiknas, bangsa ini sejatinya sedang berziarah — bukan ke makam — tapi ke pemikiran Ki Hajar yang tak lekang oleh zaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?