Lapas Narkoba Overload: Sekolah Bisnis Gelap yang Tak Pernah Luluskan Tobat
![]() |
Ilustrasi petugas penjara dan tahanan (Pic: Meta AI) |
Tidak maksimalnya program rehabilitasi dan insentif ekonomi besar membuat para napi lebih memilih tetap menjalankan bisnis ketimbang berubah
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia, khususnya yang menampung narapidana kasus narkotika, mengalami kelebihan kapasitas kronis.
Tidak hanya menjadi penjara fisik, Lapas justru menjelma menjadi inkubator kejahatan yang lebih besar.
Fenomena overload ini menimbulkan tanya: apakah sistem pemidanaan saat ini benar-benar menyasar rehabilitasi atau justru memperkuat jaringan bisnis narkotika?
Ironisnya, banyak bandar yang tetap mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji, menciptakan ekosistem ‘sekolah bisnis gelap’ yang tak mengenal lulus dan tobat.
Overkapasitas dan Dampaknya
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (2024), rata-rata kapasitas Lapas Indonesia hanya mampu menampung 130.000 napi, namun kenyataannya dihuni oleh lebih dari 270.000 orang, dan lebih dari 50% di antaranya adalah kasus narkotika.
Overkapasitas ini menyebabkan pengawasan lemah, serta tingginya risiko korupsi, pungli, dan kebocoran komunikasi ilegal.
Napi Narkoba sebagai Operator Bisnis
Banyak narapidana narkoba, terutama bandar, tetap aktif menjalankan bisnisnya dari dalam Lapas.
Komunikasi dengan jaringan luar sering dilakukan lewat alat komunikasi ilegal, bahkan dibantu oknum petugas yang terlibat.
Lapas sebagai Sarang Jaringan Baru
Narapidana yang awalnya hanya sebagai pengguna bisa “naik kelas” setelah berinteraksi dengan bandar di Lapas.
Mereka mendapat koneksi, ilmu distribusi, hingga teknik pencucian uang. Lapas pun menjadi sarang lahirnya jaringan baru.
Resiko Hukum bagi Narapidana yang Tetap Beroperasi dari Lapas
Pasal 114 dan 132 Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 mengatur pidana berat bagi pengedar dan bandar. Jika terbukti mengendalikan bisnis dari dalam penjara, pidananya bisa diperberat hingga hukuman mati.
Namun, lemahnya pengawasan dan rendahnya efek jera menunjukkan bahwa hukum masih belum cukup tajam dalam konteks ini.
Resiko Hukum bagi Petugas Lapas yang Terlibat
Berikut ini resiko hukum bagi petugas Lapas yang terlibat dalam jaringan narkoba:
1. Pidana Umum (UU Narkotika No. 35 Tahun 2009)
Jika petugas Lapas terbukti:
• Mengizinkan atau membantu napi mengedarkan narkoba, atau
• Menjadi bagian dari jaringan, maka dia bisa dijerat dengan:
Pasal 114 dan Pasal 132 UU No. 35/2009, dengan ancaman:
• Minimal 5 tahun, maksimal 20 tahun atau seumur hidup,
• Denda hingga miliaran rupiah,
• Bahkan hukuman mati jika kasusnya masuk kategori berat atau pengulangan.
2. Sanksi Pidana Tambahan (UU ASN & KUHP)
• Pelanggaran disiplin berat sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara), bisa dikenai pemberhentian tidak hormat (UU ASN No. 5 Tahun 2014).
• Bisa dijerat Pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, dengan ancaman penjara 6 tahun atau lebih.
3. Tindak Pidana Korupsi
Jika petugas Lapas menerima suap agar napi bisa bebas menjalankan bisnis dari dalam, maka itu termasuk gratifikasi dan bisa dikenai:
UU Tipikor (UU No. 20 Tahun 2001)
• Penjara 4–20 tahun
• Denda Rp200 juta–Rp1 miliar
Contoh Kasus Nyata:
Tahun 2023, seorang Kalapas dan beberapa sipir Lapas Kelas IIA di Sumatera ditangkap BNN karena membantu napi mengedarkan sabu dari dalam. Mereka divonis 12 tahun penjara dan diberhentikan dari jabatannya.
Mengapa Tidak Pernah Luluskan Tobat?
Salah satu faktor utama adalah tidak maksimalnya program rehabilitasi.
Selain itu, insentif ekonomi yang besar membuat para napi lebih memilih untuk tetap menjalankan bisnis ketimbang berubah.
Negara pun belum sepenuhnya tegas membongkar jaringan ekonomi di dalam penjara.
Lapas narkoba bukan hanya tempat hukuman, tapi telah berubah menjadi “universitas kriminal” yang meluluskan jebolan dengan koneksi dan skill baru.
Sistem pemasyarakatan harus dibenahi dari hulu ke hilir: dari aturan, pengawasan, rehabilitasi, hingga reformasi lembaga.
Jika tidak, Lapas akan terus menjadi sekolah bisnis gelap yang tidak pernah meluluskan tobat.
Referensi
- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2024). Data Overkapasitas Lapas 2024. Kementerian Hukum dan HAM RI.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Kajian Pengawasan Pemasyarakatan dan Korupsi di Lapas Narkotika.
- Nugroho, H. (2022). Jaringan Narkotika dalam Penjara dan Pembiaran Negara. Jakarta: Pustaka Reformasi.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
- Badan Narkotika Nasional. (2023). Laporan Tahunan BNN 2023: Penanganan Peredaran Narkoba di Lapas. Jakarta: BNN.
- Indonesia. (2009). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.
- Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6.
- Indonesia. (1946). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lembaran Negara Republik Indonesia.
- Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
- Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022). Gratifikasi dalam Lembaga Pemasyarakatan: Fenomena dan Upaya Pencegahan. Jakarta: KPK RI.
- Kompas.com. (2023, Maret 15). Kalapas dan Sipir Diringkus karena Terlibat Peredaran Narkoba di Lapas Sumatera. Diakses dari https://www.kompas.com
Komentar
Posting Komentar