Dari Kashmir ke Gaza: Narasi Teror, Siapa yang Untung?

Ilustrasi kehancuran akibat perang (Pic: Meta AI)



Dalam dunia yang dikuasai oleh narasi, teror bukan lagi sekadar ledakan atau peluru—melainkan alat untuk membentuk opini, menggiring emosi, dan membungkam logika



Dari lembah Kashmir yang diselimuti bayang-bayang milisi bersenjata, hingga reruntuhan Gaza yang menghitam di bawah rudal, satu pertanyaan tak pernah padam: siapa yang sungguh-sungguh berperang, dan siapa yang mengambil untung dari peperangan itu? 


Dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda menelusuri jejak yang tersembunyi di balik propaganda, untuk menemukan kebenaran yang kerap disamarkan oleh sorotan kamera dan suara diplomasi palsu.



Pendahuluan


Geopolitik modern tak hanya bertumpu pada diplomasi dan kekuatan ekonomi, tetapi juga pada penggunaan proksi bersenjata untuk menciptakan tekanan, ketidakstabilan, atau bahkan justifikasi intervensi militer. 


Kasus LeT (Lashkar-e-Taiba) dan JeM (Jaish-e-Mohammed) di Kashmir perlu dipahami dalam kerangka sejarah yang lebih luas: dimulai dari Perang Dingin hingga arsitektur politik luar negeri AS di Asia Selatan.



Afghanistan, AS, dan Industrialisasi Jihad


• Tahun 1979: Uni Soviet menginvasi Afghanistan.

 AS melalui CIA: menjalankan Operation Cyclone, salah satu operasi rahasia termahal dalam sejarah. Tujuannya: mendukung mujahidin Afghanistan melawan Soviet.

 Mitra utama CIA: ISI (Inter-Services Intelligence), badan intelijen Pakistan.


Catatan penting: Dukungan diberikan berupa dana, senjata, pelatihan, dan bahkan propaganda ideologis melalui pesantren dan jaringan dakwah. Dari sinilah muncul jaringan Islamis lintas negara yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Al Qaeda.



Dari Mujahidin ke Jihadis Global


 Pasca-1989 (mundurnya Soviet): Banyak mujahidin yang “menganggur”.

 Arab Saudi juga punya kepentingan menyebarkan paham Wahabi untuk melawan pengaruh Syiah Iran.

 Pakistan memanfaatkan para veteran jihad untuk kepentingannya sendiri, terutama dalam konteks Kashmir.


Transformasi terjadi: kelompok-kelompok militan yang awalnya anti-Soviet, beralih menjadi anti-India, anti-Barat, atau anti-pemerintah lokal. Beberapa di antaranya berkembang jadi:

 Lashkar-e-Taiba (LeT): fokus ke Kashmir, dibentuk pada 1987 dengan dukungan tokoh-tokoh keagamaan di Pakistan dan jaringan internasional.

 Jaish-e-Mohammed (JeM): muncul pada 2000, lebih ekstrem dan terlibat dalam beberapa serangan besar, termasuk di Parlemen India (2001).



AS, Sekutu, dan Tuduhan Hipokrisi


 AS memasukkan LeT dan JeM ke daftar teroris, tapi AS tetap memberikan bantuan militer miliaran dolar ke Pakistan, banyak laporan menyebut sebagian bantuan itu “bocor” ke militan.

 Dugaan: selama kelompok itu masih berguna menekan India atau menjaga ketegangan di Asia Selatan, keberadaan mereka ditoleransi.


Sama seperti kasus Taliban, yang dulu dibina lalu diberangus, lalu dinegosiasikan lagi—jejak “pembiaran strategis” ini konsisten dalam politik luar negeri AS.



Kashmir, Ladang Catur Dua Negara Nuklir


Wilayah yang disengketakan India dan Pakistan sejak 1947.

• Insiden teror sering dimanfaatkan India untuk memperketat kontrol.

 India menuduh Pakistan sebagai pendukung utama terorisme lintas batas.

 Pakistan membela diri: mendukung “pejuang kemerdekaan Kashmir”.

 Masuk akal kalau India juga menggunakan insiden untuk memperkuat kendali—misalnya mencabut status otonomi Kashmir tahun 2019.

 Pertanyaannya: apakah semua insiden benar murni buatan militan? Tidak selalu, sebab False flag operations sangat mungkin terjadi—baik oleh India maupun kelompok ekstremis yang ingin memancing konflik besar.



Pararel dengan Gaza dan Hamas


 7 Oktober 2023, Hamas menyerang Israel.

 Israel membalas dengan kekerasan luar biasa ke Gaza. Banyak analis menyebut: apakah serangan Hamas itu bagian dari provokasi yang “diharapkan” Israel untuk punya alasan meluluhlantakkan Gaza?


Sama seperti di Kashmir: Konflik digunakan sebagai alat legitimasi, kekuatan besar mungkin diam-diam menyiapkan atau memanfaatkan konflik demi agenda teritorial dan politik.



Siapa yang Diuntungkan?


Dalam konflik seperti ini, kita harus bertanya:

“Siapa yang paling diuntungkan dari kekacauan ini?”


Jika jawabannya:

Negara besar mendapatkan panggung dominasi,

Korporasi senjata panen laba,

Pemerintah represif mendapatkan legitimasi membungkam oposisi,

Dan rakyat kecil menderita…


…maka sangat mungkin kekerasan itu bukan semata-mata hasil fanatisme, tapi buah dari desain kekuasaan global yang licik.




Referensi Utama:


Coll, S. (2004). Ghost Wars: The Secret History of the CIA, Afghanistan, and Bin Laden. Penguin Press.


Fair, C. C. (2014). Fighting to the End: The Pakistan Army’s Way of War. Oxford University Press.


Chomsky, N., & Herman, E. S. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.


Said, E. W. (1997). Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World. Vintage Books.


International Crisis Group. (2019). Kashmir: The Valley of Unrest. [ICG Reports]


RAND Corporation. (2016). Trends in Militancy in South Asia.


The Guardian, Al Jazeera, Haaretz – berbagai laporan investigatif (2010–2024).


Congressional Research Service (CRS). (2020). U.S. Foreign Assistance to Pakistan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?