Refleksi Pakistan atas Konflik Israel-Palestina: Antara Ancaman, Identitas, dan Kesiagaan
![]() |
Ilustrasi pesawat tempur (Pic: Meta AI) |
Jika tragedi Gaza terus dibiarkan, maka skema penindasan serupa bisa jadi akan diadopsi di mana-mana—dan Pakistan menolak untuk jadi Palestina kedua.
Pernyataan Jenderal Pakistan baru-baru ini yang menyebut “India bukan Israel, dan Pakistan bukan Palestina” bukan sekadar retorika nasionalistik.
Ini adalah bentuk sinyal diplomatik dan militer yang menunjukkan bahwa Pakistan menyadari kemungkinan skenario penjajahan model “Israelisasi” oleh India, khususnya dalam konteks Kashmir.
Latar Historis: Mengapa Pernyataan Ini Muncul Sekarang?
• Konflik Berkepanjangan
Sejak pemisahan India-Pakistan tahun 1947, Kashmir telah menjadi wilayah yang disengketakan.
India telah mencabut status otonomi Jammu-Kashmir pada 2019, yang oleh Pakistan dianggap bentuk kolonialisme baru.
• Model “Israelisasi”
Dalam konteks ini, “Israelisasi” berarti pendudukan de facto dengan mengubah demografi, menindas hak politik warga lokal, dan menjadikan militer sebagai alat utama kontrol.
• Gaza sebagai Cermin
Gaza adalah gambaran hidup tentang apa yang terjadi bila wilayah dengan penduduk Muslim direduksi menjadi “wilayah teroris”, lalu dikepung, dipreteli wilayahnya, dan akhirnya diluluhlantakkan atas nama “keamanan nasional”.
Analisis Strategis: Kenapa Pakistan Merasa Terancam
1.Kedekatan India-Israel
• India dan Israel telah menjalin kerja sama strategis di bidang militer, intelijen, dan pengawasan (surveillance).
• Drone, rudal, dan sistem pengintaian yang digunakan India di Kashmir berasal dari Israel.
• Bahkan, India sering menyebut tindakan kerasnya di Kashmir sebagai “melawan radikalisme”—narasi khas Israel terhadap Gaza.
2. Nasionalisme Hindu dan Zionisme
• Ideologi Hindutva di India dan Zionisme di Israel memiliki kemiripan: keduanya mendefinisikan negara berdasarkan identitas agama mayoritas.
• Minoritas, terutama Muslim, dianggap ancaman ideologis dan demografis.
3. Islamophobia Global
• Pakistan melihat dirinya sebagai penjaga umat Islam, dan dengan meningkatnya Islamofobia global, ia merasa harus bersiap.
• Ketika dunia bungkam atas penderitaan Palestina, Pakistan khawatir dunia juga akan bungkam atas Kashmir bila terjadi eskalasi lebih besar.
Pakistan dan Sikap Defensif Agresif
Pernyataan Jenderal Chaudhry itu bukan hanya simbol perlawanan moral, tapi juga:
• Strategi deterensi militer: mengingatkan bahwa Pakistan memiliki kekuatan nuklir.
• Membangun citra ketegasan nasional: membentuk opini domestik dan internasional bahwa mereka tidak akan menjadi “Palestina berikutnya”.
• Sinyal geopolitik kepada China dan dunia Muslim: “Kami siap bertempur bila India mengambil langkah terlalu jauh.”
Jenderal Chaudhry bicara bukan sekadar untuk membela Pakistan, tapi sebagai peringatan keras kepada dunia.
Karena jika tragedi Gaza terus dibiarkan, maka skema penindasan serupa bisa jadi akan diadopsi di mana-mana—dan Pakistan menolak untuk jadi Palestina kedua.
Referensi
• Pande, A. (2019). From Israel to India: Hindutva’s inspiration from Zionism. Foreign Policy.
• Shaikh, F. (2020). Making Sense of Kashmir: Regional Rivalries and Religious Nationalism. Routledge.
• Roy, A. (2021). Azadi: Freedom. Fascism. Fiction. Haymarket Books.
• Gopal, A. (2019). Kashmir’s Forever War. The New Yorker.
• Akbar, M. J. (2017). India, Israel, and the United States: A Strategic Triangle. International Affairs Review, 17(2), 87–102.
• Khalid, M. (2023). “Militarized Modernity and the Reproduction of Islamophobia in South Asia.” Critical Asian Studies, 55(1), 33–55.
Komentar
Posting Komentar