Kekerasan PKI Sebelum 1965 – Lupa atau Sengaja Dilupakan?

Ilustrasi kekerasan (Pic: Meta AI)



Korban kekerasan oleh PKI pada 1948 dan malam Tragedi G30S 1965 seringkali terlupakan, sementara korban tragedi 1965–1966 mendapatkan perhatian lebih dalam 



Sejarah Indonesia diwarnai oleh dua tragedi besar yang saling terkait namun seringkali dipisahkan dalam narasi: Pemberontakan Madiun 1948 dan Tragedi 1965–1966


Keduanya menyisakan luka mendalam bagi bangsa ini. Namun, dalam perjalanan waktu, narasi yang berkembang cenderung memihak, mengangkat satu sisi sebagai korban dan mengabaikan sisi lainnya. 


Padahal, keadilan sejarah menuntut kita untuk melihat dua sisi luka ini secara jujur dan berimbang.



Pemberontakan Madiun 1948: Kekerasan oleh PKI


Pada September 1948, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur. 


Dalam peristiwa ini, banyak tokoh masyarakat, ulama, dan pejabat pemerintah menjadi korban kekejaman. 


Salah satu yang terkenal adalah Gubernur Jawa Timur, Soerjo, yang diculik dan dibunuh oleh simpatisan PKI. 


Selain itu, banyak kyai dan santri di daerah Madiun dan sekitarnya dibantai dan jasad mereka dibuang ke sumur tua yang dikenal sebagai “sumur maut” .


Namun, kekerasan ini seringkali terlupakan dalam narasi sejarah pasca-Reformasi. Minimnya dokumentasi dan saksi hidup membuat peristiwa ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam diskursus publik.



Pelanggaran HAM dalam Tragedi G30S 1965


Pada malam tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965, tujuh perwira tinggi militer Indonesia menjadi korban penculikan dan pembunuhan oleh pasukan yang menyebut dirinya Gerakan 30 September


Mereka dibawa secara paksa dari rumah masing-masing, dan dalam beberapa kasus, penculikan disertai kekerasan fisik di depan keluarga — termasuk anak-anak dan istri mereka.


Salah satu contoh yang sangat menyayat hati adalah Jenderal Ahmad Yani. Ia ditembak di hadapan anak dan istrinya di rumah dinasnya. 


Bahkan Ade Irma Suryani, putri kecil Jenderal Nasution, tak luput dari berondongan peluru.


Beberapa perwira lain, seperti Letkol Pierre Tendean, juga mengalami penyiksaan sebelum akhirnya dibunuh. 


Mayat mereka kemudian dibuang ke dalam Lubang Buaya, sebuah sumur tua yang kemudian menjadi simbol kekejaman malam itu.



Mengapa Ini Merupakan Pelanggaran HAM?


Menurut Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia, tindakan berikut tergolong pelanggaran berat HAM:


1. Penculikan tanpa proses hukum.

2. Penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang.

3. Kekerasan di depan anak dan keluarga yang menyebabkan trauma psikologis.

4. Pelanggaran terhadap hak untuk hidup, rasa aman, dan martabat manusia.


Tindakan yang dilakukan oleh kelompok ini tidak hanya menyerang institusi negara, tetapi juga melanggar hak paling mendasar dari setiap manusia, termasuk anak-anak dan istri para korban yang harus menyaksikan kekejaman itu secara langsung.



Mengapa Sering Dilupakan dalam Narasi HAM?


Seiring dengan menguatnya wacana rekonsiliasi dan hak korban 1965–1966, narasi korban G30S sendiri seperti terlupakan, seolah kekejaman terhadap mereka bukan bagian dari pelanggaran HAM. 


Ini adalah bentuk pengingkaran sejarah yang justru memperkeruh upaya rekonsiliasi.


Padahal, keluarga para pahlawan revolusi juga menyimpan luka dan trauma berkepanjangan. 


Mereka juga berhak atas pengakuan, pemulihan, dan penghormatan


Menutup mata terhadap luka mereka demi narasi tunggal rekonsiliasi adalah bentuk ketidakadilan yang tak kalah serius.



Sejarah Tak Boleh Pilih Kasih


Rekonsiliasi tidak boleh hanya berpihak pada satu sisi. Jika bangsa ini ingin benar-benar sembuh, maka kita harus:


 Mengakui kekejaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKI dalam peristiwa G30S.


 Memberikan tempat yang adil bagi para korban dan keluarga mereka dalam diskursus HAM.


 Menyeimbangkan narasi sejarah agar tidak dimonopoli oleh ideologi tertentu.



Tragedi 1965–1966: Kekerasan oleh Negara


Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang diduga terlibat atau simpatisan PKI. 


Diperkirakan antara 500 ribu hingga 3 juta orang menjadi korban dalam tragedi ini . Banyak dari mereka yang tidak melalui proses hukum dan menjadi korban kekerasan oleh militer maupun kelompok sipil yang disponsori oleh militer .


Tragedi ini meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban, dan hingga kini, banyak yang masih menuntut pengakuan dan keadilan dari negara.



Ketimpangan Narasi dan Keadilan Sejarah


Ketimpangan narasi sejarah terlihat jelas dalam penanganan ketiga  peristiwa ini. 


Korban kekerasan oleh PKI pada 1948 dan malam Tragedi G30S 1965 seringkali terlupakan, sementara korban tragedi 1965–1966 mendapatkan perhatian lebih dalam diskursus publik dan upaya rekonsiliasi. 


Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi keluarga korban 1948 dan malam Tragedi G30S 1965 yang merasa penderitaan mereka diabaikan.



Menuju Rekonsiliasi Sejarah yang Adil


Untuk mencapai rekonsiliasi yang sejati, kita perlu:


 Mengakui dan mendokumentasikan seluruh kekerasan yang terjadi, baik oleh PKI maupun oleh negara.

 Mengedepankan kejujuran sejarah dalam pendidikan dan diskursus publik.

 Memberikan ruang bagi semua korban untuk bersuara dan mendapatkan keadilan.



Sejarah tidak boleh memihak. Hanya dengan melihat dan mengakui tiga sisi luka ini secara jujur, kita bisa membangun masa depan yang lebih adil dan damai.








Referensi 

  • Cribb, R. (2001). The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali. Monash Asia Institute.
  • Komnas HAM. (2020). Menyoal Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965–1966. Retrieved from https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/10/6/1587/menyoal-pelanggaran-ham-yang-berat-peristiwa-1965-1966.html
  • BBC Indonesia. (2022). Peristiwa Madiun 1948: Upaya rekonsiliasi ‘tokoh PKI’ dengan kerabat pesantren Takeran hingga ‘upaya menghapus stigma’ Amir Syarifuddin. Retrieved from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-63085239
  • Sindo News. (2017). Peristiwa Madiun 1948, Sejarah Kebiadaban PKI Terhadap Ulama. Retrieved from https://daerah.sindonews.com/berita/1241785/29/peristiwa-madiun-1948-sejarah-kebiadaban-pki-terhadap-ulama
  • Anderson, B. R. O’G., & McVey, R. T. (1971). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Modern Indonesia Project.
  • Crouch, H. (2007). The Army and Politics in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing.
  • Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200 (4th ed.). Basingstoke: Palgrave Macmillan.
  • Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.
  • Tempo Publishing. (2012). Rekonstruksi Sejarah 1965: Dari Soekarno hingga Suharto. Jakarta: Tempo Institute.
  • Suryawan, I. W. (2013). Narasi-narasi Kekerasan dan Ingatan Kolektif 1965. Yogyakarta: Ombak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?