Senyum Amerika, Luka Palestina: Gencatan Senjata atau Strategi Penundaan Genosida?

Ilustrasi kelaparan dan kematian di Gaza, Palestina (Pic: Meta AI)


Dalam hukum internasional, prinsip jus cogens dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) seharusnya menjadi pijakan



Sejak eskalasi konflik bersenjata antara Hamas dan Israel kembali mencuat pada tahun 2023 hingga 2025, banyak tawaran gencatan senjata diajukan, terutama oleh Amerika Serikat. Namun, sebagian besar tawaran tersebut justru menuai penolakan dari Hamas. 


Penolakan ini sering diberitakan secara sepihak sebagai bentuk kebengisan atau kekerasan semata. 


Padahal, jika ditelusuri secara objektif, alasan penolakan itu erat kaitannya dengan ketimpangan isi perjanjian dan tidak terselesaikannya akar konflik.



Isi Usulan Gencatan Senjata yang Timpang


Mayoritas perjanjian gencatan senjata yang diajukan, terutama oleh AS dan sekutunya, fokus pada:

Penghentian roket Hamas,

Pembebasan sandera Israel,

Pengawasan ketat terhadap lalu lintas barang ke Gaza,

Penempatan kekuatan penjaga perdamaian internasional yang berafiliasi dengan Barat.


Namun, tidak disertai dengan:

Penghentian permanen serangan udara Israel,

Pembebasan tahanan Palestina,

Penghapusan blokade Gaza,

Komitmen terhadap solusi dua negara yang adil.


Hamas menilai perjanjian semacam ini bukanlah gencatan senjata, tetapi “penundaan dominasi sepihak”.



Kepentingan AS dan Sekutu dalam Usulan Gencatan Senjata


Amerika Serikat secara historis merupakan sekutu erat Israel dan seringkali menjadi pihak utama dalam menyusun draft perdamaian. 


Tujuannya antara lain:

Menjaga stabilitas Timur Tengah demi kepentingan minyak dan geopolitik,

Melindungi Israel sebagai mitra strategis utama,

Mencegah radikalisasi regional yang bisa berdampak pada kepentingan global.


Namun demikian, keterlibatan AS sering dianggap tidak netral oleh pihak Palestina, khususnya Hamas, karena orientasi tawaran gencatan senjata lebih berpihak pada keamanan Israel daripada keadilan Palestina.



Sikap Hamas: Perlawanan atas Ketimpangan


Sebagai organisasi yang terdaftar sebagai kelompok teroris oleh AS, Uni Eropa, dan beberapa negara lain, Hamas memiliki pendekatan militer dan ideologis yang tegas. 


Bagi mereka, menandatangani perjanjian gencatan senjata yang tidak menyelesaikan masalah pokok (seperti pendudukan dan blokade) sama saja dengan meninggalkan aspirasi kemerdekaan Palestina.


Hamas menyatakan bahwa mereka tidak menolak perdamaian, tetapi hanya ingin perdamaian yang adil, bukan “perdamaian palsu” yang menguntungkan penjajah.



Analisis dari Perspektif Hukum Internasional


Dalam hukum internasional, prinsip jus cogens dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) seharusnya menjadi pijakan. 


Tawaran gencatan senjata yang tidak memberikan keadilan struktural bagi Gaza dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.



Penolakan Hamas terhadap usulan gencatan senjata dari AS bukan semata-mata karena militansi atau kebencian terhadap perdamaian. Melainkan karena isi perjanjian tersebut terlalu timpang dan tidak menyelesaikan masalah substansial. 


Dalam konteks ini, gencatan senjata tanpa keadilan hanyalah bentuk lain dari perpanjangan penindasan. 


Jika solusi damai hendak dicapai, maka harus adil, simetris, dan menjamin hak-hak rakyat Palestina secara menyeluruh.








Referensi 

  • United Nations. (2023). Report on the Humanitarian Situation in Gaza. UN OCHA.
  • Human Rights Watch. (2024). Israel: Gaza Blockade Threatens Rights.
  • Khalidi, R. (2020). The Hundred Years’ War on Palestine. Metropolitan Books.
  • Al Jazeera. (2025, May). Hamas Refuses US-mediated Truce Proposal.
  • International Crisis Group. (2023). Gaza and the Quest for a Real Ceasefire.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?