Klik, Tarik, Bangkrut: Pendidikan Tumbang di Tangan Judi Online

Ilustrasi bocah menangis karena kalah judi online (Pic: Meta AI)


Solusinya bukan hanya soal pemblokiran situs, tapi soal membangun ketahanan moral, digital, dan spiritual dalam diri anak-anak muda



Dalam satu dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia, namun bersamaan dengan itu juga menyuburkan praktik-praktik destruktif, salah satunya adalah judi online


Fenomena ini telah merambah berbagai kalangan, tak terkecuali generasi muda, bahkan anak-anak. 


Menurut data dari Menkopolkam Budi Gunawan, sekitar 8,8 juta warga Indonesia terlibat dalam judi online, dengan 80.000 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun (detikfinance.com, 21/01/2025).


Dengan modal kecil dan akses mudah lewat ponsel pintar, judi online menjelma menjadi candu baru yang berbahaya, sering kali tidak dikenali oleh masyarakat awam sebagai ancaman serius.


Judi online bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga sebuah krisis sosial yang mengancam fondasi bangsa, khususnya ketika yang menjadi korban adalah kelompok usia produktif. 


Data dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menunjukkan bahwa sekitar 960.000 pelajar dan mahasiswa telah terjerat dalam judi online (liputan6.com, 21/06/2024).


Oleh karena itu, penting untuk mengkaji fenomena ini secara holistik dari sudut pandang edukasi, kebijakan publik, hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.



Perspektif Edukasi


Generasi muda seharusnya dibekali dengan literasi digital dan finansial. Sayangnya, sistem pendidikan formal belum banyak menyentuh aspek bahaya platform digital seperti judi online. 


Anak-anak sering kali menganggapnya sebagai “permainan” tanpa menyadari dampak psikologis, sosial, dan ekonomi dari kebiasaan berjudi.


Permasalahan:

Minimnya kurikulum yang membahas risiko finansial dan etika digital.

Kurangnya pengawasan dan pemahaman orang tua serta guru.


Solusi:

Integrasi literasi digital, etika internet, dan edukasi anti-judi dalam kurikulum sekolah.

Pelatihan guru dan sosialisasi kepada orang tua.



Perspektif Kebijakan Publik


Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melarang segala bentuk judi, termasuk online. Namun penegakan hukum terhadap situs-situs ilegal masih jauh dari efektif. 


Terlebih, promosi judi sering dilakukan secara terselubung melalui media sosial, afiliasi influencer, dan aplikasi berbasis game.


Permasalahan:

Banyak situs dan aplikasi judol lolos blokir Kominfo dengan mengganti domain.

Kurangnya regulasi ketat terhadap iklan digital dan endorsement selebritas.


Solusi:

Kerja sama antarinstansi (Kominfo, Bareskrim, Kemenkominfo) untuk pengawasan lebih ketat.

Penegakan hukum terhadap promotor judi online, termasuk selebritas/influencer.

Blokir akses ke platform pembayaran digital yang terhubung ke aktivitas judol.



Perspektif Hukum


Dalam KUHP maupun UU ITE, judi termasuk tindak pidana. Namun penindakan terhadap pelaku dan bandar sering hanya menyentuh level rendah (pengguna kecil) tanpa menyasar jaringan besar yang mengatur sistem.


Permasalahan:

Hukum tertulis tidak cukup adaptif terhadap kecepatan teknologi digital.

Banyak pelaku di bawah umur tidak mendapatkan pendekatan hukum berbasis perlindungan anak.


Solusi:

Pembaruan UU ITE dan sistem pidana yang lebih progresif untuk kasus digital.

Pendekatan hukum berbasis rehabilitasi untuk anak/remaja yang terjerumus.



Perspektif Norma Agama


Semua agama besar di Indonesia mengharamkan atau melarang praktik judi karena dianggap merusak moral, menimbulkan kesenjangan, dan menghilangkan keberkahan rezeki.


Contoh larangan:

- Islam: QS. Al-Maidah: 90-91 menyatakan bahwa judi adalah perbuatan setan.

- Kristen: Menekankan etos kerja dan menghindari cinta uang yang membutakan iman.

- Hindu & Buddha: Menganggap judi sebagai salah satu sumber penderitaan karena memicu keserakahan.

- Konghucu: Menolak perilaku seperti berjudi karena dianggap mendorong keserakahan, kemalasan, dan merusak keharmonisan sosial serta keluarga.


Implikasi:

Lemahnya pemahaman agama pada generasi muda mempermudah normalisasi praktik ini.

Kegiatan keagamaan belum cukup banyak menyentuh isu kontemporer seperti judol.


Solusi:

Khotbah, ceramah, dan pembinaan rohani yang langsung menyentuh realita digital anak muda.

Kolaborasi tokoh agama dengan pendidik dan aparat hukum.



Perspektif Norma Kesusilaan


Secara sosial, judi online melanggar norma kesusilaan karena merusak tatanan kehidupan yang sehat. 


Generasi muda yang semestinya belajar, berkarya, dan berinovasi justru terjebak dalam siklus kecanduan, utang, hingga kriminalitas.


Dampak kesusilaan:

Menghilangkan rasa tanggung jawab.

Mengganggu hubungan dalam keluarga.

Menormalisasi gaya hidup instan dan spekulatif.


Solusi:

Kampanye publik masif berbasis nilai moral dan etika.

Peran komunitas dan keluarga dalam menciptakan ekosistem sehat dan suportif.



Judi online adalah penyakit sosial modern yang mengancam masa depan generasi muda. 


Ia menyusup lewat celah pendidikan yang lemah, pengawasan digital yang longgar, dan sistem hukum yang belum adaptif. 


Secara moral, praktik ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kesusilaan bangsa.


Tanggung jawab menangkal bahaya ini adalah tanggung jawab bersama: pemerintah, pendidik, keluarga, tokoh agama, media, dan masyarakat sipil. 


Solusinya bukan hanya soal pemblokiran situs, tapi soal membangun ketahanan moral, digital, dan spiritual dalam diri anak-anak muda.


Masa depan Indonesia bergantung pada generasi yang bebas dari candu instan dan bermental kuat menghadapi godaan dunia maya. Saatnya kita bertindak—dengan ilmu, hukum, iman, dan hati nurani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?