Membangun Bangsa dengan Membaca: Revolusi Literasi di Hari Pendidikan Nasional

Gemar membaca (Pic: Meta AI)


Jika Indonesia ingin bangkit menjadi bangsa besar, maka revolusi literasi harus menjadi gerakan nasional yang serius



Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei merupakan momen reflektif untuk mengevaluasi capaian dan tantangan dalam dunia pendidikan Indonesia. 


Salah satu tantangan paling mendasar yang hingga kini belum terselesaikan adalah rendahnya budaya membaca masyarakat Indonesia. 


Budaya membaca tidak hanya berkaitan dengan kemampuan literasi dasar, tetapi juga berperan penting dalam pembentukan karakter bangsa, kecerdasan kolektif, dan kemajuan peradaban. Sayangnya, budaya ini belum mengakar kuat di Indonesia.



Ki Hajar Dewantara Tokoh Pendidikan Nasional Gemar Membaca dan Penulis Ulung


Hardiknas tak bisa dipisahkan dari sosok Ki Hajar Dewantara, tokoh revolusioner yang meletakkan fondasi pendidikan berbasis kebudayaan, karakter, dan emansipasi rakyat. 


Meskipun zaman Ki Hajar Dewantara (1889–1959) belum mengenal dokumentasi digital seperti sekarang, tapi banyak catatan sejarah yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang pembaca dan penulis ulung. Ini beberapa buktinya:


1. Kiprahnya sebagai jurnalis dan penulis


Ki Hajar pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar seperti De ExpressOetoesan Hindia, dan Tjahaja Timoer. Ia menulis ratusan artikel kritis tentang kolonialisme, pendidikan, dan kebudayaan. Mustahil seseorang bisa menulis selugas itu tanpa kegemaran membaca.


2. Dikenal menguasai banyak referensi Eropa dan Nusantara


Dalam tulisannya, Ki Hajar sering mengutip pemikiran tokoh-tokoh Barat seperti Jean-Jacques Rousseau atau John Dewey. Ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya membaca literatur lokal, tetapi juga bacaan internasional.


3. Pendidikan informal dan otodidaknya


Karena tidak menyelesaikan pendidikan medisnya di STOVIA, ia belajar secara otodidak — dan itu berarti membaca adalah senjatanya. Bahkan saat dibuang ke Belanda oleh pemerintah kolonial, ia menghabiskan waktunya membaca dan menulis.


4. Tokoh pendidikan yang mendirikan Taman Siswa


Untuk mendirikan sistem pendidikan alternatif seperti Taman Siswa, Ki Hajar jelas harus banyak membaca referensi pendidikan, filsafat, dan kebudayaan. Ini dibuktikan dengan metode pengajarannya yang progresif dan sangat kontekstual.



Kondisi Minat Baca di Indonesia


Berdasarkan laporan dari berbagai lembaga, termasuk UNESCO dan Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia masih tergolong rendah dalam hal literasi:


 UNESCO (meski datanya sering diperdebatkan) menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya hanya 1 dari 1.000 orang yang serius membaca secara rutin.


 PISA 2022 (rilis akhir 2023) menunjukkan skor literasi membaca siswa Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara. Sementara itu, rerata kemampuan siswa dalam memahami bacaan berada jauh di bawah rata-rata OECD.


Rendahnya minat baca ini bukan hanya masalah kebiasaan, tetapi juga terkait dengan:

Ketimpangan akses terhadap bahan bacaan berkualitas.

Kurangnya pembiasaan membaca sejak dini.

Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi konten visual cepat saji.

Kurikulum dan pembelajaran yang belum sepenuhnya membangun kecintaan membaca.



Dampak Rendahnya Budaya Membaca


Minimnya budaya membaca berdampak luas, di antaranya:


1. Rendahnya Daya Analisis dan Berpikir Kritis


Masyarakat yang malas membaca akan kesulitan membedakan opini dan fakta. Akibatnya mudah terpapar hoaks dan provokasi.


2. Kemandekan Inovasi dan Kreativitas


Membaca memperluas wawasan dan menjadi bahan bakar inovasi. Negara dengan budaya membaca tinggi seperti Jepang dan Finlandia membuktikan kaitan ini.


3. Kemunduran Demokrasi


Literasi rendah menyebabkan masyarakat abai terhadap isu-isu strategis bangsa dan lemah dalam pengawasan publik terhadap penguasa.


4. Kemandulan Ekonomi Pengetahuan (Knowledge-based Economy)


Ekonomi modern ditopang oleh pengetahuan. Budaya malas membaca menjauhkan Indonesia dari cita-cita menjadi negara berbasis inovasi dan teknologi.



Penyebab Rendahnya Minat Baca


Beberapa faktor penyebabnya antara lain:


 Dominasi budaya instan: masyarakat lebih memilih menonton video pendek ketimbang membaca teks panjang.

 Krisis teladan: sedikit tokoh masyarakat atau pejabat publik yang menunjukkan minat baca sebagai gaya hidup.

 Tekanan sistem pendidikan: pembelajaran yang berorientasi pada ujian membuat membaca hanya menjadi alat, bukan kebutuhan.

 Infrastruktur literasi belum merata: perpustakaan masih minim dan distribusi buku tidak merata.



Solusi dan Strategi Perubahan


1. Gerakan Literasi Nasional yang Masif dan Inklusif

Membangun budaya membaca harus dimulai dari sekolah, rumah, dan ruang publik.


2. Pendidikan Guru yang Berbasis Literasi

Guru adalah role model utama. Mereka harus menjadi pembaca yang produktif.


3. Reformasi Kurikulum

Pendidikan harus mendorong eksplorasi bacaan, bukan sekadar memenuhi target materi.


4. Pemanfaatan Teknologi Literasi

Platform digital bisa dioptimalkan untuk memperluas akses membaca, tanpa mengorbankan kualitas bacaan.


5. Reward System untuk Pembaca Aktif

Program penghargaan bagi pembaca produktif bisa memotivasi masyarakat untuk aktif membaca.



Membaca adalah aktivitas sederhana yang berdampak besar. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa budaya membaca menjadi tulang punggung dalam membangun sumber daya manusia yang unggul, demokratis, dan inovatif. 


Jika Indonesia ingin bangkit menjadi bangsa besar, maka revolusi literasi harus menjadi gerakan nasional yang serius. 


Bangsa besar bukan yang paling banyak bicara, melainkan yang paling banyak membaca dan memahami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vera Fernanda SMP Taman Siswa Karyanya Lolos Prestasi Nasional

Trump Bungkam Aktivis! Mahmoud Khalil Ditangkap dengan Tuduhan Absurd

RUU TNI Disahkan: Reformasi atau Kemunduran Demokrasi?