Bea Cukai: Penunjukan yang Memicu Polemik
![]() |
Ilustrasi Bea dan Cukai (Pic: Meta AI) |
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pengangkatan pejabat publik
Pada 23 Mei 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik Letjen (Purn.) Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai.
Penunjukan ini menuai kritik karena Djaka pernah terlibat dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1998 sebagai anggota Tim Mawar, unit dalam Grup IV Kopassus yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis menjelang reformasi 1998 .
Aspek Hukum: Pelanggaran UU TNI dan Meritokrasi
Penunjukan Djaka dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang membatasi jabatan sipil tertentu bagi prajurit aktif.
Meskipun Djaka telah mengajukan pensiun dini sebelum pelantikan, penunjukan ini tetap menuai kritik karena dianggap mengabaikan prinsip meritokrasi dan rekam jejak pelanggaran HAM.
Aspek HAM: Ancaman terhadap Keadilan dan Rekonsiliasi
Organisasi pemantau HAM, seperti Imparsial dan KontraS, menilai penunjukan Djaka sebagai bentuk impunitas dan ancaman terhadap demokrasi serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mereka menyoroti bahwa penunjukan ini semakin menjauhkan korban dari harapan mendapat keadilan .
Aspek Internasional: Citra Indonesia di Mata Dunia
Penunjukan pejabat dengan rekam jejak pelanggaran HAM dapat merusak citra Indonesia di mata internasional, terutama dalam komitmennya terhadap demokrasi dan penegakan HAM.
Hal ini dapat memengaruhi hubungan diplomatik dan kerja sama internasional di berbagai bidang.
Refleksi atas Penunjukan Kontroversial
Penunjukan Letjen (Purn.) Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea dan Cukai mencerminkan tantangan dalam penegakan hukum, HAM, dan prinsip meritokrasi di Indonesia.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pengangkatan pejabat publik, serta perlunya komitmen nyata terhadap reformasi dan keadilan.
Komentar
Posting Komentar