Notaris Terima Honor Besar Wajib Lapor, Judicial Review PP 61/2021

Illustrasi pekerjaan notaris (foto: ini.id)


PP bertujuan mencegah modus operandi pelaku tindak pidana pencucian uang dengan menyalahgunakan profesi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan



Presiden Jokowi telah menandatangani PP 61/2021 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


PP tersebut bertujuan mencegah modus operandi pelaku tindak pidana pencucian uang dengan menyalahgunakan atau memanfaatkan profesi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan.



Honor besar, notaris wajib lapor ke PPATK


Sesuai Pasal 8 ayat PP 61/2021: Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan kepada PPATK Transaksi yang dilakukan oleh profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa yang diketahui patut diduga menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.


Sehingga notaris wajib melapor ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) apabila menerima honor sangat besar yang patut diduga hasil pencucian uang.



Seberapa besar honor pengacara?


Lalu berapa besar honor pengacara hingga bisa dicurigai sebagai pencucian uang?


Masih ingat saat Advokat Fredrich Yunadi menggugat mantan kliennya Setya Novanto ke PN Jaksel dengan nilai gugatan mencapai Rp 2,2 triliun, karena dinilai wanprestasi tidak membayar honor jasa pengacaranya? 


Kala itu Friedrich menagih Setya Novanto terkait 14 legal action dengan tarif per kasus Rp 2 miliar sehingga total jasa yang seharusnya diterima Rp 28 miliar. Friedrich mengaku baru dibayar Rp 1 miliar.


Kemudian juga pengacara Humphrey Djemat saat membela kasus korupsi dengan terdakwa Billy Sindoro pada 2008, Pembayaran pertama saat penyelidikan dan penyidikan sebesar Rp 2 miliar, dan sisanya sebanyak Rp 5 miliar saat perkara masuk ke pengadilan.


Dengan nilai bayaran yang sebesar itu maka wajarlah bila ada kecurigaan sebagai indikasi pencucian uang.


Itu baru di ranah pidana, belum lagi jika pengacara mengurus nonlitigasi atau perkara perdata di luar persidangan, maka honor belasan miliaran rupiah bisa diraupnya.


Namun tak semua pengacara meraup uang miliaran rupiah, sebab ada juga pengacara yang menawarkan jasanya secara gratis (probono) kepada orang-orang tidak mampu yang memerlukan bantuan hukumnya.



Bertentangan dengan UU Advokat


Setelah mengkaji PP 61/2021, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia berencana akan mengajukan judicial review PP 61/2021 ke Mahkamah Agung (MA) karena dinilai bertentangan dengan UU Advokat.


PP dianggap bertentangan dengan Pasal 16 UU Advokat juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut saat menjalankan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.


Bahkan jika pun memperoleh honor selangit, hal itu adalah sebuah penghargaan atas keilmuan yang dimiliki advokat, selain itu honor yang diterima tercatat melalui transfer bank, sehingga menurut Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia bisa dipertanggungjawabkan.







Sumber: detik.com



 

Comments